Latest Entries »

Sabtu, 23 Januari 2010

Menjadi Manusia Sempurna bab4

Bab 4

Menjadi Manusia Sempurna

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa suatu hari Siti Aisyah, istri Nabi SAW ditanya Sahabat, “Saya ingin sekali meniru kehidupan Rosulullah Muhammad, bukankah disebutkan bahwa Muhammad itu uswatun hasanah, contoh yang baik. Nah kalau saya ingin contoh yang baik, ringkas dari ahlak Rosulullah itu seperti apa?” Jawab Siti Aisyah, “Akhlaquhu AlQuran.” Akhlak Nabi itu adalah Al Quran. Kalam Ilahi atau atau kurukulum Ilahi yang tercantum dalam Al Quran itulah yang harus diserap bila seseorang ingin mencontoh Nabi.

Untuk mencapai derajat Manusia Sempurna itu diperlukan sebuah perjuangan 7). Dalam tasawuf dikenal istilah salik. Salik merupakan orang yang selalu berjuang menuju Allah. Untuk mencapai Allah diperlukan sebuah pengembaraan dan perjuangan yang berat dan terus menerus.

Manusia sempurna dalam pandangan tasawuf tradisional adalah manusia yang mampu menangkap sifat-sifat, kehebatan-kehebatan Allah dan kemudaian tercermin atau terkatualisasikan dalam kehidupannya. Dalam proses pencapaian manusia sempurna itu ada beberapa tahap.

Pertama, tahalli, yakni pengosongan diri manusia dari sifat-sifat, kotoran-kotoran yang memungkinkan hadirnya Tuhan dalam diri. Pengosongan itu adalah dalam rangka membuka pintu kehadiran Tuhan. Salah satu bentuk pengosongan adalah puasa. Dalam syahadat ada ungkapan La Ilaha, (jangan sampai kita mengangkat obyek-obyek selain Tuhan). Ini juga salah satu bentuk pengosongan.

Ke dua, adalah takhalli dilakukan, silahkan Allah hadir. Ucapan Illa Allah, dalam syahadat merupakan bentuk dari takhalli. Dalam proses ini Allah diundang hadir. Yang diundang hadir adalah sifat-sifatnya. Kalau sifat-sifat itu sudah hadir, maka kemudian diri kita disifati dengan sifat-sifat Allah. Dalam hadits disebutkan, takhalaku bi akhlaqillah (berakhlaklah Engkau dengan akhlak Tuhan). Dari sinilah kemudian muncul proses tajali, atau proses ke tiga, yakni penampakkan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Insan kamil atau manusia sempurna adalah orang yang telah melewati ke tiga tahap itu.

Sebuah riwayat mengatakan apabila seorang telah mencapai derajat insane kamil, maka bila ia melihat, ia akan melihat dengan mata Tuhan, dia akan mendengar dengantelinga Tuhan, dia berbicara dengan mulut Tuhan. Maksudnya, secara popular adalah bahwa dirinya telah terprogram dengan sifat-sifat Allah. Samapi disitulah contoh wahdatul wujud terjadi, bahwa Tuhan telah hadir dalam diri manusia. Tapi kehadiran yang mudah dipahami adalah kehadiran sifat-sifatnya. Kalau dikatakan bahwa manusia sempurna itu reinkarnasi Tuhan, maka maksudnya adalah inkarnasi dari sifat-sifat Tuhan.

Menjadi Manusia Sempurna bab3

Bab 3

Manusia Sempurna

4.1) Ragam Pendapat Tentang Kesempurnaan Manusia

4.1.1Pandangan Para Filosof Modern

Banyak perbedaan pendapat diantara berbagai kalangan seperti pemikir maupun filosof memandang hakikat kesempurnaan manusia. diantaranya yang mendasar adalah 5) :

a. Kesenangan manusia terletak pada sejauh mana ia dapat menikmati kelezatan-kelezatan dan kesenangan-kesenangan material. Dan untuk dapat meraih itu maka seseorang harus menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga asset dan sumber-sumber daya alam dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesenangan hidup manusia. Pandangan ini berpijak pada prinsip materialisme dan hedonisme serta individualisme.

b. Kesempurnaan manusia terwujud ketika sebuah masyarakat dapat meraih dan mengeksplorasi adet dan sumber daya alam semaksimal mungkin. Untuk mencapai tujuan itu, maka harus diupayakan aktualisasi kesejahteraan semua lapisan masyarakat yang bersangkutan. Pendapat ini adalah pendapat sosialisme (kesejatian masyarakat).

c. Kesempurnaan manusia terletak pada perkembangan spiritual dan maknawinya yang didapat melalui riyadhah dan perjuangan melawan kelezatan-kelezatan materi. (Pendapat ini bertolak belakang dengan pendapat poin a dan b di atas)

d. Kesempurnaan manusia terletak pada kesempurnaan rasionalitas (aqliyah)nya. Hal ini dapat diraih melalui ilmu pengetahuan dan filsafat.

MT Misbah Yazdi, Jagad Diri, Penerbit AlHuda, Jakarta, 2006

e. Kesempurnaan manusia terkandung pada kemajuan intelektualitas (aqliyah) dan moralitas (akhlaq)nya. Yang demikian itu diraih dengan jalan perolehan ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter-karakter kejiwaan yang utama.

Berdasarkan pemaparan diatas, agar dapat dikenal kesempurnaan hakiki manusia, maka dalam pemaparan dalil-dalil, diupayakan tidak bersandar pada prinsip-prinsip filsafat tertentu, tetapi dengan proposisi sederhana. Agar kemanfaatannya lebih besar dan merata untuk berbagai kalangan.

4.2. Pandangan Ahli Tasawuf Tradisional

Istilah manusia sempurna (Insan Kamil) ini diperkenalkan oleh Ibnu Arabi dan dikembangkan oleh Al Jilli.

Cyril Glasse, dalam buku Ensiklopedi Islam karangannya, menjelaskan bahwa manusia sempurna adalah manusia universal. 6) Sebuah doktrin sufisme yang dijabarkan secara mendetail oleh Abdul Karim Al Jilli (w.820/1417) didalam karyanya yang berjudul Al Insan Al Kamil. Dasar doktrin ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh ibnu Hambal bahwa “Tuhan menciptakan Adam dalam rupa-Nya ( Ala Suratihi).

Menurut Jabir Ibn Hayyan, seorang pakar kimia, :”Alam kecil diciptakan diciptakan sesuai dengan prototype alam besar. Alam kecil adalah manusia ketika menyadari asal-usul kejadian yang diciptakan dalam rupa Tuhan (ala suratihi)”.

Menurut Al Ghazali, “Sebelum terjadi penciptaan, Tuhan mencintai diri-Nya sendiri dalam keesaan yang absolut. Dan melalui cinta-Nya tampaklah diri sendiri untuk diri-Nya sendiri semata. Selanjutnya Ia berkehendak untuk melihat cinta yang semata tersebut, yakni cinta yang tidak melibatkan pihak lain dan tidak terdapat dualitas, dan merupakan obyek cinta yang abadi, maka Ia menghadirkan sesuatu yang belum terwujud sebagai bayangan atas dirinya sendiri, menganugerhkan sifat-sifat dan nama-Nya. Bayangan Tuhan tersebut adalah Adam.

Menurut Ibnu Arabi (w.1240), “Pintu keluar masuk menuju manusia sempurna adalah wahyu”. Maksudnya adalah doktrin-doktrin wahyu mengenai diskriminasi antara Yang Nyata dengan yang tidak nyata, dan pentahbisan terhadap Yang Nyata melalui kesempurnaan nilai-nilai kemanusiaan dan supernatural. Jika hal ini telah dipastikan di dalam diri, niscaya seseorang akan mencapai pusat dari wujudnya, dan manusia akan

1)Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2002

mencapai pada esensi dan tidak sekedar diluaran. Dalam keadaan seperti ini, setiap sikap perbuatannya sesuai kehendak Allah, bahkan identikm adanya, ia berada dalam kesempurnaan perbuatan, bahkan “tanpa nafsu” sedikitpun, karena ia mengidentifikasikan dirinya terhadap “sebab yang pertama” tanpa ada pihak luar yang mempengaruhinya. Demikian ini merupakan keadaan “nenek moyang manusia” (adam kadmon) atau “asal kejadian manusia” yang harmonis dengan fitrah

4.2) Manusia Sempurna Sebagai Tujuan Penciptaan

Yang paling menonjol dari pandangan tasawuf tentang manusia adalah dijadikannya manusia sebagai tujuan akhir dari penciptaan alam semesta. Pandangan ini bersumber pada hadits qudsi “lau laka, wa lau laka, ma khalaqtu al-alam qulaha”, yang artinya “kalau bukan karena engka (Ya Muhammad) tidak akan aku ciptakan alam semesta”. Engkau di dalam hadits diatas adalah Nabi Muhammad, tetapi ditafsirkan oleh sebagian sufi sebagai symbol manusia sempurna (insan kamil), yaitu bentuk manusia yang telah mencapai kesempurnaannya, yakni ketika ia telah mengaktualkan seluruh potensi kemanusiaannya.

Menurut Jalal al-Din Rumi “Ketika kebun mawar telah musnah, kemanakah kita akan mendapatkan semerbak mawar?”, jawabnya dari “air mawar”. Maksudnya adalah ketika Tuhan yang gaib tidak bisa kita lihat, maka melalui para Nabi dan Rasul pesan dan berita dariNya dapat kita peroleh. Oleh karena Nabi dan Rosul yang berpuncak pada Nabi Muhammad, adalah contoh manusia paripurna. Mereka inilah yang sesungguhnya patut dijadikan sebagai tujuan akhir penciptaan alam. Ketika Nabi dan Rasul tidak diturunkan lagi setelah “penutup para Nabi dan Rosul” yaitu Muhammad, maka peran itu diteruskan lagi oleh aulia Allah, baik itu sahabat, Al muqarobbin dan juga para sufi.

Adapun bentuk nyata dari pemuliaan Tuhan kepada manusia adalah tanggung jawab-Nya untuk menciptakan segala prasarana dan sarana yang Dia ciptakan di bumi ini, yang pada gilirannya memungkinkan manusia hidup, tetapi juga menjalankan fungsinya sebagai wakil atau khalifah-Nya di muka bumi. Secara praktis, Tuhan telah menciptakan segala apa yang ada di bumi ini untuk manusia, sebagaimana yang ada di dalam kitab sucinya, agar rencana Tuhan dalam menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya bisa terlaksana dengan baik.

-o0o-

Menjadi Manusia Sempurna bab 2

Bab 2

Mencari kesempurnaan

2.1. Definisi kesempurnaan

Kesempurnaan (al kamal) merupakan sebuah karakter (yaitu suatu kualitas positif) yang berada dalam wilayah eksistensi.

1) namun apabila kita ingin membandingkan antara sesuatu yang merupakan suatu eksistensi dengan obyek selainnya. Namun pada saat yang sama, ia tidak dianggap sebagai kesempurnaan apa bila dibandingkan lagi dengan kelompok lainnya (dalam kelompok ke dua). Lebih jauh, ia mungkin dianggap sebagai kekurangan atau bahkan sesuatu yang mengurangi nilai keberadaan (wujudiyah) atas eksistensi yang disandangnya. Contohnya, rasa manis dianggap sebagai kesempurnaan bagi sebagian buah seperti anggur dan semangka, namun pada saat yang sama kesempurnaan buah asam justru terletak pada rasa asamnya.

Rahasia hal diatas terletak pada suatu kenyataan bahwa suatu wujud mempunyai batasan esensial (al-hadd al mahawi) tertentu yang hanya ia miliki sendiri, dan wujud itu akan mengalami perubahan menjadi wujud atau jenis lain jika ia ‘melampaui’ dari batasan tersebut. Suatu esensi (mahiyah) akan memiliki kesesuaian dan keserasian berdasarkan tabiat dan karakter dengan sejumlah sifat tertentu. Kesempurnaan hakikat suatu eksistensi apapun sesungguhnya lebih merupakan sifat, atau sifat-sifat yang menjadi tuntutan atas suatu aktualisasi akhir dari suatu eksistensi. Sedangkan perkara lain (yang dianggap sempurna), sesuai dengan keadaan atsar (pengaruh) yang dimilikinya dalam membantu peraihan kesempurnaan, sesungguhnya merupakan pendahuluan (mukadimah) bagi kesempurnaan yang sesungguhnya (atas eksistensi yang bersangkutan).

2.2. Mencari Kesempurnaan

Jika kita amati berbagai motif yang ada dalam jiwa dan kecenderungan-kecenderungannya kita akan menemukan bahwa kebanyakan motif utama tersebut adalah keinginan meraih kesempurnaan.

2) Kita tidak akan menemukan seorangpun yang menyukai kekurangan pada dirinya. Manusia senantiasa berusaha sekeras mungkin untuk menghilangkan berbagai cela dan cacat dirinya samapi ia mendapat kesempurnaan yang diinginkan. Sebelum menghilangkan segala kekurangannya itu ia berusaha sedapat mungkin untuk menutupinya dari pandangan orang lain. Apabila motif ini berjalan sesuai dengan nalurinya yang sehat, ia akan meningkatkan kesempurnaannya, baik yang bersifat materi maupun spiritual. Namun, bila motif ini menyimpang dari jalannya yang normal – lantaran faktor-faktor dan kondisi tertentu- justru akan melahirkan sifat-sifat yang buruk seperti congkak, sombong, riya dan lain-lain.

1. MT Misbah Yazdi, Jagad Diri, Penerbit AlHuda, Jakarta, 2006

2. MT Misbah Yazdi, Iman Semesta Merancang Piramida Keyakinan,penerbit Al Huda, 2005

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa ingin sempurna merupakan faktor yang kuat di dalam jiwa setiap manusia. Akan tetapi, biasanya factor ini terefleksikan dalam sikap nyata yang dapat menarik perhatian. Kalau saja direnungkan sejenak, kita akan dapat mengetahui bahwa sesungguhnya dasar dan sumber berbagai sikap lahiriah itu adalah cinta kepada kesempurnaan.

2.3 Akal sebagai kesempurnaan Manusia

Sesungguhnya proses kesempurnaan dan kesempurnaan pada tumbuhan itu bersifat niscaya dan terpaksa karena tunduk dan terpenuhinya faktor dan kondisi luar diri mereka.4) Sebuah pohon tidak tumbuh dengan kehendaknya sendiri, ia tidak menghasilkan buah-buahan sesuai kehendaknya, karena tumbuhan tidak memiliki perasaan dan kehendak. Berbeda dengan binatang; ia memiliki kehendak dan ikhtiar itu timbul dari nalurinya semata, dimana proses dan aktivitasnya terbatas hanya pada terpenuhi kebutuhan-kebutuhan alamiah dan atas dasar perasaan yang sempit dan terbatas pada kadar indra hewaninya saja.

Adapun manusia, disamping memiliki segala kelebihan yang dimiliki tumbuhan dan hewan, iapun memiliki dua keistimewaan lainnya yang bersifat ruhani. Dari satu sisi, keinginan fitrahnya tidak dibatasi oleh kebutuhan-kebutuhan alami dan material, dan dari sisi lain ia memiliki akal yang dapat memperluas pengetahuannya sampai pada dimensi-dimensi yang tak terbatas.

Sebagaimana kesempurnaan yang dimiliki oleh tumbuhan itu bisa berkembang dengan perantara potensinya yang khas, juga kesempurnaan yang dimiliki oleh binatang itu dapat dicapai dengan kehendaknya yang muncul dari naluri dan pengetahuannya yang bersifat inderawi, demikian pula dengan manusia. Kesempurnaan khas manusia pada hakikatnya terletak pada ruh yang dapat dicapai melalui kehendaknya dan arahan-arahan akalnya yang sehatm yaitu akal yang telah mengenal berbagai tujuan dan pandangan yang benar. Ketika ia dihadapkan pada berbagai pilihan, akalnya akan memilih sesuatu yang lebih utama dan lebih penting.

Dari sini dapat kita ketahui bahwa perbuatan manusia itu sebenarnya dibentuk oleh kehendak yang muncul dari kecenderungan-kecenderungan dan keinginan-keinginan yang hanya dimiliki oleh manusia dan atas dasar pengarahan akal. Adapun perbuatan yang dilakukan karena motif hewani semata-mata adalah perbuatan yang tentunya, bersifat hewani pula, sebagaimana gerak yang timbul dari kekuatan mekanik dalam tubuh manusia semata-mata merupakan gerak fisis saja.

Secara fitrah manusia memiliki kecenderungan untuk berusaha menemukan kesempurnaan insaninya dengan melakukan perbuatan-perbuatan. Akan tetapi untuk memilih perbuatan-perbuatan yang dapat menyampaikannya kepada tujuan-tujuan yang diinginkan, terlebih dahulu ia harus mengetahui puncak kesempurnaannya.

3. MT Misbah Yazdi, Iman Semesta Merancang Piramida Keyakinan,penerbit Al Huda, 2005

Puncak kesempurnaanya ini hanya akan dapat diketahui manakala ia telah mengenal hakikat dirinya, awal dan akhir perjalanan hidupnya. Kemudian ia harus mengetahui hubungan yang baik maupun negatif - diantara berbagai perbuatan dengan aneka ragam jenjang kesempurnaan, sehingga ia dapat menemukan jalannya yang tepat. Selama ia belum mengetahuiu dasar-dasar teoritis pandangan dunia ini, ia tidak akan dapat menemukan sistem nilai dan ideologi yang benar.

-o0o-

Menjadi Manusia Sempurna bab 1



Bab 1

M a n u s i a

1.1.Siapakah Manusia?

“Apakah dan Siapakah manusia?”, Pertanyaan ini sangat menarik untuk diurai lebih lanjut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut sering terjadi berbenturan pendapat, karena keterbatasan manusia dalam memahami dirinya sendiri.

Konsep manusia adalah konsep sentral bagi setiap disiplin ilmu sosial kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai obyek formal dan meterialnya. Agar memahami manusia sesuai dengan kodratnya diciptakan semestinya kita bertanya kepada Sang Pencipta manusia yaitu Allah SWT, caranya dengan menafsirkan wahyu-wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui kitab suci Al Quran. Gambaran manusia menurut Al quran adalah sebagai berikut : 1)

a. Menggunakan kata yang terdiuri dari huruf alif, nun dan sin, semacam kata insan, ins, nas atau unas.

b. Menggunakan kata basyar.

c. Menggunakan kata Bani Adam, atau Zuriyat Adam.

Kata basyar terambil dari kata yang pada mulanya berarti “menampakkan sesuatu dengan baik dan indah”, dari kata yang sama lahir kata basyarah yag berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena memiliki kulit yang jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. Proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam firmannya :

“Dan diantara tanda-tanda kekuaaan-Nya, Allah menciptakan kamu dari tanah, dan ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran” (Q.S. Ar Rum ayat 20).

Kata insan terambil dari kata uns yang berarti jinak, dan tampak. Kata insan digunakan Al Quran untuk menunjukkan kepada manusia dengan segala totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang unik, yang berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.

1.2. Produksi dan Reproduksi Manusia

Manusia sebagai mahluk Tuhan yang menyandang gelar wakil Allah di bumi melebihi kemampuan mahluk lainnya.

1) Abdul Rahman Shaleh, Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam, , Prenada Media, Jakarta, 2004

Al Quran menjelaskan manusia tercipta dari tanah, kemudian setelah sempurna kejadiannya, kemudian Tuhan menghembuskan ruh ciptannya. (Q.S. 38:71-72).

Oleh karena asal muasalnya dari tanah, maka manusia juga dipengaruhi oleh kekuatan alam, sehingga manusia memerlukan makan dan minum, berhubungan seks dan lain-lainnya. Dan dengan “Ruh” dia diantar kea rah tujuan non materi yang tak berbobot dan bersubstansi, yang tak bisa diukur atu bahkan dikenal oleh alam material. Al Quran tidak memandang manusia yang tercipta secara kebetulan atau tercipta dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas.

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi” (Q.S. 2:30). “Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positip untuk mengubah corak kehidupan kea rah lebih baik” (Q.S. 13:11), “serta ditundukkan dan dimudahkan kepadanya alam raya untuk dikelola dan dimanfaatkan” (QS.45:12-13),” ditetapkan arah yang harus ia tuju” (Q.S. 51:56), “dianugerahkan kepadanya petunjuk untuk menjadi pelita dalam perjalanan ini” (QS. 2:38).

Al Quran menguraikan produksi dan reproduksi manusia ketika berbicara tentang penciptaan manusia pertama, Al Quran menunjukkan kepada Sang Pencipta dengan menggunakan penggantian nama tunggal. Sesuai firman Allah SWT :

“Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah”. Penciptaan manusia secara umum, melalui proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya yaitu sepasang manusia yang berbeda kelamin (Baca: Ibu dan Bapak). Keterlibatan Ibu dan Bapak mempunyai bentuk pengaruh pada bentuk fisik dan psikis manusia.

1.3. Potensi Manusia Dalam Al Quran

Potensi manusia sebagaimana telah diceritakan dalam Al Quran melalui kisah Adam dan Hawa (QS. 2: 30-39) bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab ke khalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab ke khalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut Allah memberi akal dan rohani. Dengan akal dan rohani tersebut Allah memberi beberpa potensi kepada manusia, diantaranya :

1. Potensi untuk mengetahui nama benda dan fungsi benda –benda alam.

2. Pengalam hidup di surga, baik yang berhybungan dengan nikmat, maupun akibat buruknya rayuan iblis.

3. Petunjuk-petunjuk agama.

Potensi-potensi tersebut yang diberikan Tuhan, sehingga manusia berbeda dengan mahluk lainnya. Selain unsure tanah dan ruh di dalam tubuh manusia sebenarnya ada juga unsure-unsur lainnya yang mendukung potensi-potensi tersebut, diantaranya adalah unsur Fitrah, Nafs, Qalb dan Ruh. Unsur-unsur tersebut biasanya disebut unsur immaterial.

A. Fitrah

Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan oleh Allah pada setiap mahluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta Ruhnya)”.

B. Nafs

Al Quran menegaskan bahwa Nafs dapat berpotensi positip dan negatip. Pada hakikatnya potensi positip manusia lebih kuat dari potensi negatipnya, hanya saja daya tarik keburukannya lebih kuat daripada daya tari kebaikannya.

Al quran juga mengisyarakatkan keanekaragaman nafs besrta peringkatnya, secara eksplisit yang terdiri nari Nafs Ammarah, Nafs Alawamah dan Nafs Muthmainah.

C. Qalb

Kata Qalb bermakna “membalik”. Karena sering berbolak balik, terkadang senang terkadang susah, kadangkala setuju, kadang kala menolak. Qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten. Alquranpun menggambarkan demikian ada yang baik dan ada pula yang tidak.

Kalbu adalah wajah pengajaran, kasih sayang, takut dan keimanan. Dengan demikian dapat dipahami pula, mengapa kalbu dituntut untuk dipertanggungjawabkan.

“Allah menuntut tanggung jawab kamu menyangkut apa yang dilakukan kalbumu” (QS. 2:225).

D. Ruh

Memaknai ruh, al Quran membicarakannya beraneka ragam, sehingga sulit untuk menetapkan makna dan substansinya.

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah bahwa ruh itu urusanku, kamu tidak diberikan ilmu melainkan sedikit”. (Q.S. 17:85).

Sabda Nabi Muhammad SAW :”Ruh-ruh adalah himpunan yang terorganisa yang saling mengenal akan bergabung dan yang tidak saling mengenal akan saling berselisih”.

Dari sabda Rosul dapat ditarik kesimpulan isyarat, bahwa manusia mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda dan setiap kecenderungan jiwanya akan bergabung dengan sesamanya.

E. Akal

Kata akal berasal dari Aql, kata benda ini justru tidak ditemukan di dalam alQuran tetapi kata ini ditemukan dalam kata kerja. Dari segi bahasa kata aql artinya tali pengikat atau penghalang.

Kata Aql mengandung arti sebagai :

1. Dorongan untuk memahami dan menggambarkan sesuatu

2. Dorongan moral

3. Daya untuk mengambil pelajaran dari kesimpulan serta hikmah.

1.4.Ciri-ciri Manusia Dalam Pandangan Al Quran

Adalah benar bahwa manusia bukanlah suatu entitas yang homogen tetapi kebalikannya yaitu heterogen. Berdasarkan Al Quran manusia memiliki potensi –potensi yang meliputi :

1. Manusia mempunyai raga dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Dengan bentuk yang paling baik itu diharapkan menjadi bersyukur kepada Allah (QS. An Nahl: 78)

2. Manusia itu sebaik-baiknya dari segi fitrah. Dia tidak mewariskan dosa dari asal-usulnya. Ciri utama fitrah adalah menerima Allah sebagai Tuhan.

3. Ruh. Al Quran secara tegas menyatakan bahwa kehidupan manusia bergantung pada wujud ruh dan wujud badan.

4. Kebebasan, kemauan atau kebebasan kehendak, yaitu kebebasan untuk memilih tingkah laku sendiri kebaikan atau keburukan.

5. Akal. Akal dalam pengertian Islam, bukan otak tetapi daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal dalam Islam mempunyai ijatan pada tiga unsur yakni pikiran, perasaan dan kemauan (cipta, rasa dan karsa).

6. Nafs. Nafs atau nafsu seringkali dikaitkan dengan gejolak atau dorongan yang terdapat dalam diri manusia. Apabila dorongan itu berkuasa dan manusia tidak mengendalikannya, maka manusia akan tersesat. Kesesatan tersebut karena manusia yang dikuasai nafsunya itu tidak menggunakan hati dan indera (mata dan telinga yang dimilikinya). (QS. 7:178-179).

-o0o-