Latest Entries »

Kamis, 21 Januari 2010

Tersesat di Surga

Seorang pemuda, ahli amal ibadah datang ke seorang Sufi. Sang pemuda dengan bangganya mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca Al-Qur’an, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah masuk syurga dengan tumpukan amalnya.
Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.
“Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”
“Apa yang sudah anda lakukan?”
“Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”
“Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”
Pemuda itu diam…lalu berkata,
“Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”

“Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”
“Saya sendiri…hmmm….”
“Jadi kamu mau masuk syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas dong tuan…”
“Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana…”
Seorang pemuda, ahli amal ibadah datang ke seorang Sufi. Sang pemuda dengan bangganya mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca Al-Qur’an, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah masuk syurga dengan tumpukan amalnya.
Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.
“Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”
“Apa yang sudah anda lakukan?”
“Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”
“Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”
Pemuda itu diam…lalu berkata,
“Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”“Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”
“Saya sendiri…hmmm….”
“Jadi kamu mau masuk syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas dong tuan…”
“Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana…”
Pemuda itu terkejut bukan main atas ungkapan Sang Sufi. Pemuda itu antara marah dan diam, ingin sekali menampar muka sang sufi.
“Mana mungkin di syurga ada yang tersesat. Jangan-jangan tuan ini ikut aliran sesat…” kata pemuda itu menuding Sang Sufi.
“Kamu benar. Tapi sesat bagi syetan, petunjuk bagi saya….”
“Toloong diperjelas…”“Begini saja, seluruh amalmu itu seandainya ditolak oleh Allah bagaimana?”
“Lho kenapa?”
“Siapa tahu anda tidak ikhlas dalam menjalankan amal anda?”
“Saya ikhlas kok, sungguh ikhlas. Bahkan setiap keikhlasan saya masih saya ingat semua…”
“Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda masih mengandalkan amal ibadah anda?
Mana mungkin anda ikhlas kalau anda sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?”Pemuda itu duduk lunglai seperti mengalami anti klimaks, pikirannya melayang membayang bagaimana soal tersesat di syurga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak ikhlas.
Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya.
“Hai anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup istighfar saja. Kalau kamu berambisi masuk syurga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta syurga bagaimana? Kan sama dengan orang masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Saya harus bagaimana tuan…”“Mulailah menuju Sang Pencipta syurga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke syurga. Tapi ikhlasmu dalam beramal merupakan wadah bagi ridlo dan rahmat-Nya, yang menarik dirimu masuk ke dalamnya…”
Pemuda itu semakin bengong antara tahu dan tidak.
“Begini saja, anak muda. Mana mungkin syurga tanpa Allah, mana mungkin neraka bersama Allah?”
Pemuda itu tetap saja bengong. Mulutnya melongo seperti kerbau.

PERUBAHAN MAKNA KATA AGAMA

Mengapa saya mengangkat tema ini agar kalian tahu bahwa orng yang layak dikatakan bergama ketika mereka mampu berindak bersama-sama mampu hidup tentram dan damai, tanpa ada penyakit hati antara sesama manusia. Di era globalisasi seperti sekarang ini banyak sekali orang yang mengaku dirinya beragama, akan tetapi tingkah laku mereka seperti orang yang tidak beragama.
Bisa tidak orang dikatakan beragama ketika mereka saling mencela?
Pernah tidak Nabi yang di utus oleh ALLAH mencela semasa hidupnya? yang pasti tidak
Bagai mana dengan kalian yang mengaku beragama lantas kelakuannya menyalahi agama. Blog ini saya buat agar kalian semua sadar betapah beratnya memeluk salah satu agama

Ada juga opini mengatakan bahwa orang dikatakan bergama ketika dia rajin ke tempat ibadah
yang jadi pertanyaan saya apakah hanya di tempat ibadah orang beribadah (masjid, gereja, wihara, kuil) , tidak kan. Kita mampu beribadah dimana saja, kan Tuhan juga tidak membatasi kita dalam beribadah

Makna AGAMA berasal dari dua kata:
"A" tidak
"GAMA" kacau
yang bermakna "tidak kacau"

Namun kita liat di realitas semuanya kacau, saya sempat heran dengan orang yang berani mengatakn dirinya beragama sementara di sambar sedikit dia langsung mengeluarkan kata-kata cacian untuk orang yang menyambarnya, apakah begitu yang dia ajarkan di dalam agama sehingga saya tidak mau dikatakan beragama. Kalu di ingat-ingat pada jaman rasullulah.saw semua umat islam sampai menumpahkan darahnya untuk mempertaruhkan ISLAM. Sampai sampai islam di kenal sebagai agama yang sempurnah dan agama seluruh jaman.



LANDASAN DAN KERANGKA BERFIKIR

Mengawali pembahasan seputar masalah ini, pertama yang harus diketahui bahwa dalam benak atau pikiran manusia terdapat sejumlah gagasan, baik yang bersifat tunggal seperti; batu, putih, gunung, emas, ikan, manusia dan lain-lain) maupun yang bersifat majemuk (seperti; gagasan batu-putih, gunung-emas, ikan-duyung dan lain-lain) di mana gagasan majmuk dihasilkan dari penggabungan dari gagasan tunggal. Gagasan-gagasan inilah yang disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi). Pada mulanya seluruh bentuk pengetahuan manusia, bahkan seluruh bentuk-bentuk proposisi kepercayaan atau keyakinan apapun pada mulanya adalah berbentuk konsepsi atau pengetahuan yang sederhana ini. Mengapa demikian? Hal ini karena adalah mustahil bagi seorang dapat mempercayai atau meyakini sesuatu jika sesuatu itu bukan merupakan sebuah konsepsi atau pengetahuan baginya.

Dari sini kemudian muncul pertanyaan dari mana asal atau sumber gagasan-gagasan tersebut? Dalam menjawab pertanyaan ini maka muncul beberapa pendapat. Pertama, adalah pendapat yang dikemukakan oleh Plato. Menurutnya gagasan-gagasan tersebut muncul dalam pikiran manusia sebagai hasil dari proses pengingatan kembali terhadap pengetahuan yang telah dimilikinya ketika dia masih berada di alam sebelumnya (Archetypus). Di alam sebelumnya –atau yang disebut juga dengan alam idea oleh Plato- manusia telah memiliki pengetahuan yang sempurna dan bersifat universal, namun ketika manusia dilahirkan ke alam dunia (alam materi yang serba terbatas) manusia mengalami pelupaan terhadap seluruh pengetahuannya. Oleh sebab itulah ketika manusia mulai berinteraksi dengan lingkungannya sedikit demi sedikit dia mulai melakukan pengingatan kembali terhadap seluruh pengetahuan yang telah dia lupakan tersebut.

Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya pendapat Plato ini menuai kritik yang cukup gencar karena menurut mereka Plato telah terjebak pada dualisme dalam arti dia telah mengasumsikan bahwa terdapat dua substansi dalam hal ini. Di sisi lain, sebagaimana pandangan Aristoteles sebagai orang yang pernah berguru kepadanya, tidak ditemukan cukup alasan mengapa manusia berkenan lahir ke alam dunia yang serba terbatas ini kalau memang di alam sebelumnya dia mendapatkan kesempurnaan, dan bukankah hal ini bertentangan dengan kecenderungan dasar manusia yang lebih memilih kesempurnaan dari pada keserba terbatasan di dunia ini?

Kedua, adalah pendapat yang dikemukakan para filsuf empirisme. Menurut mereka seluruh gagasan atau pengetahuan manusia adalah hasil dari pengindraan (persepsi indrawi). Konsekuwensinya mereka menolak setiap pengetahuan tentang apapun yang tidak dapat diindrai (non-empiris) atau tidak berdasarkan proses ini. Bahkan lebih jauh di antara mereka ada yang menolak obyektifitas prinsip kausalitas, yang merupakan prinsip primer akal manusia dan hukum dari realitas, dan mereka mereduksinya sebagai akumulasi antar gagasan. Terhadap pendapat kalangan empirisme ini sebenarnya banyak kritik yang dapat diajukan, diantaranya adalah; kalau memang para filsuf empiris ini benar maka apa landasan mereka sebelum menetapkan bahwa indra adalah merupakan asal mula atau sumber segala pengetahuan? Perlu diketahui bahwa mereka menolak obyektifitas akal. Dan terkait dengan prinsip kausalitas, bukankah mereka sebenarnya telah menggunakan prinsip tersebut untuk membenarkan proposisi-proposisi empirisnya –dengan kata lain bukankah secara tidak lansung mereka telah mengatakan bahwa seluruh pengetahuan manusia adalah sebagai akibat dari proses pengindraan (sebab)?

Ketiga, adalah pendapat yang dikemukakan oleh para filsuf muslim (yang doktrinya dikenal dengan sebutan Metafisika Islam/rasionalisme-metafis
is). Menurut mazdhab ini, setiap gagasan yang dimiliki manusia pada awalnya memang adalah hasil dari proses pengindraan (persepsi indrawi) namun kemudian persepsi kita yang lain juga ikut berperan, yaitu dalam menyimpan citra dari hasil pengindraan tersebut yang berupa persepsi imajinatif (persepsi khayali). Karena persepsi inilah sehingga tidak semua hal yang dapat kita indrai dapat melekat citranya dalam benak kita dan di sini pula secara tidak langsung dilakukan perbandingan dengan berbagai gagasan yang telah dimiliki sebelumnya. Di samping dua persepsi tersebut masih terdapat persepsi yang lain yaitu persepsi akal, di mana dengan persepsi ini kita dapat memahami gagasan-gagasan tersebut dari sisi universalitasnya.

Akan tetapi kemudian meski telah kita temukan suatu pendapat yang layak kita jadikan acuan untuk mengakhiri perdebatan ini, pengetahuan tasawwur (konsepsi) sebagaimana telah diketahui hanyalah merupakan gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya belum ada penilaian, maka hal itu dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya seseorang tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan bentuk pengetahuan ini saja. Tetapi ia harus melangkah lebih jauh untuk mendapatkan pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, yaitu pengetahuan-pengetahuan tasdhiqi (assent). Dalam artian bahwa ia harus melakukan suatu proses penilaian terhadap setiap gagasan-gagasan atau konsepsinya itu agar dapat dipertanggung jawabkan. Lantas, pertanyaannya adalah apa landasan pokok atau kriteria dasar kita di dalam menilai seluruh gagasan-gagasan tersebut yang mana kebenaran dari landasan tersebut bersifat mutlak atau pasti?

Dalam menjawab hal ini beberapa madzhab di atas, memiliki pendapatnya masing-masing di tambah satu lagi pendapat yang lahir dari kalangan agamawan. Mereka adalah; pertama, madzhab emperisme dengan doktrin empirikalnya, kedua, mazhab skriptualisme dengan doktrin tekstualnya dan ketiga, mazhab ‘metafisika Islam’ dengan doktrin akliahnya. Dalam hal ini madzhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif sebagai kerangka berfikirnya, sedangkan metafisika Islam menjadikan prima principia (prinsip non-kontradiksi) dan kausalitas sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta metode deduktif sebagai kerangka berfikirnya. Adapun mazhab skriptualisme menjadikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta tekstual kerangka berfikirnya.

Mazhab empirisme menolak seluruh bentuk landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain, begitu pula sebaliknya dengan mazhab skriptualisme yang hanya mengacu pada pada kitab suci. Adapun bagi mazhab Metafisika Islam, persepsi inderawi serta eksperimen dan sumbangsih-informasi dari teks-teks kitab suci adalah tetap diperlukan namun ditempatkan pada porsinya masing-masing. Dan Metafisika Islam menolak bila kedua hal tersebut (persepsi indrawi dan teks-teks kitab suci) dijadikan landasan atau kriteria dasar dalam menilai setiap gagasan baik yang ilmiah, filosofis, maupun yang teologis.

Bagi Metafisika Islam persepsi inderawi serta data eksperimen merupakan informasi-informasi yang sangat diperlukan untuk mengetahui aspek sekunder dari alam materi, atau dengan kata lain persepsi inderwi serta data eksperimen sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah khusus mengenai hal-hal yang sebagiannya bersifat ilmiah dan yang lain bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari keadaan-keadaan (kondisi objektif) seperti alam ghaib, akhirat, kehendak-kehendak suci Tuhan atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis atau non inderawi (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi atau eksperimen tak dapat menjangkau sama sekali. Karena itu dalam kerangka berfikir para penganut madzhab Metafisika Islam (baca: filsuf muslim), hal-hal di atas (data yang diperoleh dari persepsi inderawi serta eksperimen dan teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif, sementara premis mayornya adalah pengetahuan-pengetahuan intuitif yang sekaligus merupakan prinsip akal seperti prinsip non-kontradiksi dan kausalitas.

Pada akhirnya tak dapat dipungkiri bahwa pandangan mazhab Metafisika Islam yang berlandaskan prima-principia (prinsip non-kontradiksi) dan prinsip kausalitas beserta kerangka berfikirnya yang deduktif merupakan satu-satunya landasan dan kerangka berfikir yang abash di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa pengetahuan dasar tersebut (prima-principia dan kausalitas) mustahil ada pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi bila doktrin dari metafisika Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas objektif) yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama dengan kesalahannya dan setiap peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya. Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan mustahilnya penilaian. Mengapa demikian? Karena watak penilaian adalah ingin diketahuinya sesuatu (konsepsi) itu apakah ia benar atau salah atau ingin diketahuinya "mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat terjadi." Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut bukan merupakan watak dan hukum realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran, maka seluruh konstruksi pengetahuan manusia baik yang ilmiah, filosofis dan bahkan teologis sekalipun menjadi runtuh dan tak bermakna adanya.