Latest Entries »

Minggu, 20 Mei 2012

KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGIS


oleh Jalaluddin Rakhmat
Al-Qur'an adalah kitab manusia. Karena al-Qur'an seluruhnya
berbicara untuk manusia atau berbicara tentang manusia.
Dr. Yusuf Qardhawi (1977: 33)
Masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya, yaitu Islam,
kata Fazlur Rahman (1980: 43). Ideologi adalah Weltanchauung,
yang menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu. Ideologi
adalah cara memandang realitas. Di antara realitas penting
yang diulas ideologi adalah manusia. Toute ideologie precise
d'emblee, tacitement on explicitement, la nature de l'individu
et la place qui lui est assignee daus la groupe, en fonction
de l'objektif social poursuiri. Pour une religion
eschatologique comme l'Islam, dieu sera la reference
primordial et unique puisqu'll est, a la fois, I origine et le
fin de la destine e humaine, tulis Marcel A. Boisard (1979:
84), ketika mengantarkan tulisannya tentang pandangan Qur'ani
mengenai manusia dalam bab Les Fils d'Adam.
Agak mengherankan, walaupun Boisard mengakui pentingnya
filsafat antropologis dalam Islam, ia kemudian menyebutkan
bahwa al-Qur'an diwahyukan untuk memperkenalkan Tuhan kepada
manusia; bukan untuk menjelaskan manusia -non pour expliquer
l'humain (Boisard, 1979: 84). Karena itu dalam seluruh
bukunya, Boisard hampir tidak pernah membahas karakteristik
manusia menurut al-Qur'an, seperti lazimnya filsafat manusia
(philosophic de l'homme). [1]
Dirk Bakker (1965) dalam bukunya Man in the Qur'an, mengulas
manusia dari segi penciptaannya, hubungannya dengan dunia,
sesama manusia, Tuhan, dan fungsi manusia sebagai hamba Tuhan,
tapi tidak membahas principe d'entre manusia.
Adalah Rahman (1980), yang secara khusus menjelaskan principe
d'entre manusia ini. Agak terperinci, ia menjelaskan perbedaan
manusia dengan makhluk lain. Semuanya dapat disimpulkan dalam
kalimatnya,
The only different is that while every other creature follows
its nature automatically, man ought to follow his nature; this
tranformation of the is into ought is both fhe unique
privelege and the unique risk of man (Rahman, 1980: 24)
Rahman mengulas manusia dengan mengulas pandangan al-Qur'an
tentang kedudukan manusia sebagai individu dan anggota
masyarakat. Ia tidak memulai dari konsep dasar yang digunakan
al-Qur'an untuk mengabsorbsikan manusia. Dalam tulisan
tersebut, juga dalam tulisan lain (Rahman, 1967) --yang
membahas amanah sebagai inti kodrat manusia-- uraian Rahman
tidak berbeda dengan pembahasan al-Ghazali yang lebih klasik
(Lihat Othman, 1960). Mungkin tulisan Mutahhari (tanpa tahun)
dan beberapa tulisan lainnya (Lihat Mutahhari, 1986) membahas
karakteristik khas manusia yang lebih "maju" dari al-Ghazali,
juga walaupun pendek tulisan al-Faruqi (1404: 332). Sayangnya,
seperti Fazlur Rahman, mereka meneliti ayat-ayat al-Qur'an
yang berkenaan dengan manusia, lalu menyimpulkan secara
induktif. Yang kita perlukan di sini, sebetulnya menemukan
bagaimana al-Qur'an memberi makna tentang konsep-konsep dasar
manusia. Dengan kata lain, kita mengidentifikasikan
istilah-istilah al-Qur'an tentang manusia, kemudian mengenal
bidang semantik setiap istilah itu, sebagaimana digunakan
dalam al-Qur'an.
Saya sangat terkesan dengan Izutsu (1964, 1965) yang
memperkenalkan metodologi semantik [2] dalam memahami
konsep-konsep dasar al-Qur'an. Tidak mungkin dalam makalah
ini, saya menguraikannya secara terperinci. Izutsu sendiri
berkata, Unfortunately, what is called semantics today is so
bewilderingly complicated. It is extremely difficult, if not
absolutely impossible, for an outsider even to get a general
idea of what it is like (Izutsu, 1964: 10). Malangnya di
samping makalah ini tidak dimaksudkan untuk itu, penulis
makalah ini juga outsider. Jadi, dengan resiko salah beberapa
langkah.
Pertama, kita memilih istilah-istilah kunci (key-terms) dari
vocabulary al-Qur'an, yang kita anggap merupakan unsur
konseptual dasar dari Weltanschauung Qur'ani ini. Kedua, kita
menentukan makna pokok (basic meaning) dan makna nasabi
(relational meaning). Makna pokok yang berkenaan dengan
constant semantic element which remains attached to the word
whereever it goes and however it is used (Izutsu, 1964: 19).
Makna nasabi adalah makna tambahan yang terjadi karena istilah
itu dihubungkan dengan konteks di mana istilah itu berada.
Ketiga, kita menyimpulkan weltanschauung yang menyajikan
konsep-konsep itu dalam satu kesatuan.
Ketika Izutsu membahas kosep Tuhan dan manusia dalam
al-Qur'an, ia menyebut pembahasannya sebagai semantics of the
Koranic weltanschauung. Ia mengambil konsep Allah sebagai
istilah kunci dan menjelaskan hubungan konsep itu dengan
manusia. Ia menyebutkan tiga hubungan ontologis, hubungan
komunikasi nonlinguistik, dan hubungan komunikasi linguistik.
Ia sama sekali tidak menyebut berbagai konsep yang digunakan
al-Qur'an untuk merujuk manusia. Tulisan ini mengambil jalan
lain. Pertama, akan dibahas istilah-istilah kunci manusia dan
bidang semantiknya. Kedua, akan dibahas implikasi dari bidang
semantik tersebut untuk memperoleh gambaran tentang
Weltanschauung Qur'ani.
BASYAR, INSAN, DAN AL-NAS
Dalam al-Qur'an, ada tiga istilah kunci yang mengacu kepada
makna pokok manusia: basyar, insan, dan al-Nas. Ada
konsep-konsep lain yang jarang dipergunakan dalam al-Qur'an
dan dapat dilacak pada salah satu di antara tiga istilah kunci
di atas, unas, anasiy, insiy, ins. Unas disebut lima kali
dalam al-Qur'an (2:60; 7:82; 70:160; 17:71; 27:56) dan
menunjukkan kelompok atau golongan manusia. Dalam QS. 2:60,
misalnya, unas digunakan untuk menunjukkan 12 golongan dalam
Bani Israil. Surat 17:21 dengan jelas menunjukkan makna ini
pada hari kami memanggil setiap unas dengan imam mereka.
Anasiy hanya disebut satu kali (25:49). Anasiy dalam bentuk
jamak dari insan, dengan mengganti nun atau ya atau boleh juga
bentuk jamak dari insiy, seperti kursiy, menjadi karasiy
(Lihat al-Thabrasi, 1937), yang merupakan bentuk lain dari
insan. Ins disebut 18 kali dalam al-Qur'an, dan selalu
dihubungkan dengan jinn sebagai pasangan makhluk manusia yang
mukallaf (6:112, 128, 130; 7:38, 179; 17:88; 27:17; 41:25, 29;
46:18; 51:56; 55:33, 39, 56, 74; 72:5, 6).
Basyar. Marilah kita kembali kepada ketiga istilah kunci tadi.
Basyar disebut 27 kali. [3] Dalam seluruh ayat tersebut,
basyar memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk
biologis. Lihatlah bagaimana Maryam berkata, Tuhanku,
bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku tidak
disentuh basyar (3:47); atau bagaimana kaum yang diseru para
nabi menolak ajarannya, karena nabi hanyalah basyar --manusia
biasa yang "seperti kita," bukan superman. Kata Basyar
dihubungkan dengan mitslukum (tujuh kali) dan mitsluna (enam
kali) diantara ayat-ayat tersebut di muka. Nabi Muhammad saw,
disuruh Allah menegaskan bahwa secara biologis, ia seperti
manusia yang lain, Katakanlah, aku ini manusia biasa (basyar)
seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu ialah
Tuhan yang satu (18:110; 41:6). Tentang para Nabi, orang-orang
kafir selalu berkata, Bukankah ia Basyar seperti kamu, ia
makan apa yang kamu makan, dan ia minum apa yang kamu minum
(33:33). Ayat ini ditegaskan dalam QS. 25: 7, Mereka berkata,
Bukankah Rasul itu memakan makanan dan berjalan-jalan di
pasar; dan QS. 25: 20, Dan tidak Kami utus sebelummu para
utusan kecuali mereka itu memakan makanan dan berjalan-jalan
di pasar. Ketika wanita-wanita Mesir takjub melihat ketampanan
Yusuf as., mereka berkata, Ya Allah, ini bukan basyar, tapi
ini tidak lain kecuali malaikat yang mulia (12:31).
Secara singkat konsep basyar selalu dihubungkan dengan
sifat-sifat biologis manusia: makan, minum, seks, berjalan di
pasar. Dari segi inilah, kita tidak tepat menafsirkan basyarun
mitslukum sebagai manusia seperti kita dalam hal berbuat dosa.
Kecenderungan para Rasul untuk tidak patuh pada dosa dan
kesalahan bukan sifat-sifat biologis, tapi sifat-sifat
psikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya untuk tidak
menafsirkan Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentuk
yang sebaik-baiknya (95: 4) dengan menunjukkan karakteristik
fisiologi manusia. Yusuf Ali (1977: 1759) dengan tepat
menafsirkan ayat ini to man God gave the purest and the best
nature, and man's duty is to preserve the pattern on which God
has made him (QS 30:30). Al-Syaukani (1964, 5: 465)
menyebutkan umumnya para mufasir mengartikan ayat ini untuk
menunjukkan kelebihan manusia secara fisiologis: berjalan
tegak, dan makan dengan menggunakan tangan. Tapi Ibn 'Arabi
berkata, Tak ada makhluk Allah yang lebih bagus daripada
manusia. Allah membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa,
berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, dan memutuskan,
dan ini adalah sifat-sifat rabbaniyah.
Insan. Sekali lagi, kekeliruan penafsiran, umumnya para
mufassir bermula dari salah paham tentang semantic field
istilah insan, yang berbeda dengan basyar. Insan disebut 65
kali dalam al-Qur'an. [4] Kita dapat mengelompokkan konteks
insan dalam tiga kategori. Pertama, Insan dihubungkan dengan
keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah. kedua,
Insan dihubungkan dengan predisposisi negatif diri manusia.
Dan ketiga Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia.
Kecuali kategori ketiga yang akan kita jelaskan kemudian,
semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau
spiritual.
Pada kategori pertama, kita melihat keistimewaan manusia
sebagai wujud yang berbeda dengan hewani. Menurut al-Qur'an,
manusia adalah makhluk yang diberi ilmu, Yang mengajar dengan
pena, mengajar insan apa yang tidak diketahuinya. [5] (96: 4,
5), "Ia mengajarkan (insan) al-bayan" [6] (55: 3). Manusia
diberi kemampuan mengembangkan ilmu dan daya nalarnya. Karena
itu juga, kata insan berkali-kali dihubungkan dengan kata
nazhar. Insan disuruh menazhar (merenungkan, memikirkan,
menganalisis, mengamati) perbuatannya (79: 35), proses
terbentuknya makanan dari siraman air hujan hingga
terbentuknya buah-buahan (80: 24-36), dan penciptaannya (86:
5). Dalam hubungan inilah, setelah Allah menjelaskan sifat
insan yang tidak labil, Allah berfirman, Akan Kami perlihatkan
kepada mereka (insan) tanda-tanda Kami di alam semesta ini dan
pada diri mereka sendiri sehingga jelas baginya bahwa ia itu
al-Haq (41: 53).
Kedua, manusia adalah makhluk yang memikul amanah (33: 72).
Menurut Fazlur Rahman (1967: 9), amanah adalah menemukan hukum
alam, menguasainya atau dalam istilah al-Qur'an "mengetahui
nama-nama semuanya" dan kemudian menggunakannya, dengan
inisiatif moral insani, untuk menciptakan tatanan dunia yang
baik. (Al-Thabathabai, tt, 351-352) mengutip berbagai pendapat
para mufassir tentang makna amanah dan memilih makna amanah
sebagai predisposisi (isti'dad) untuk beriman dan mentaati
Allah. Di dalamnya terkandung makna khilafah, manusia sebagai
pemikul al wilayah al-ilahiyyah. Amanah inilah yang dalam
ayat-ayat lain disebutkan sebagai perjanjian (ahd, mitsaq,
'isr). [7] Predisposisi untuk beriman inilah yang digambarkan
secara metaforis [8] dalam surat 7:172.
Ketiga, karena manusia memikul amanah, maka insan dalam
al-Qur'an juga dihubungkan dengan konsep tanggung jawab (75:
36; 75:3; 50:16). Ia diwasiatkan untuk berbuat baik (29:8;
31:14; 46:15); amalnya dicatat dengan cermat untuk diberi
balasan sesuai dengan apa yang dikerjakannya (53: 39). Karena
itu, insanlah yang dimusuhi setan (17:53; 59:16) dan
ditentukan nasibnya di hari Qiyamat (75:10, 13, 14; 79:35;
80:17; 89:23).
Keempat, dalam menyembah Allah, insan sangat dipengaruhi
lingkungannya. Bila ia ditimpa musibah, ia cenderung menyembah
Allah dengan ikhlas; bila ia mendapat keberuntungan, ia
cenderung sombong, takabur, dan bahkan musyrik (10:12; 11:9;
17:67; 17:83; 39:8, 49; 41:49, 51; 42:48; 89:15).
Pada kategori kedua, kata insan dihubungkan dengan
predisposisi negatif pada diri manusia. Menurut al-Qur'an,
manusia itu cenderung zalim dan kafir (14:34; 22:66; 43:15),
tergesa-gesa (17:11; 21:37), bakhil (17:100), bodoh (33:72),
banyak membantah atau mendebat (18:54; 16:4; 36:77), resah,
gelisah, dan segan membantu (70:19; 20,21), ditakdirkan untuk
bersusah payah dan menderita (84:6; 90:4), tidak berterima
kasih (100:6), berbuat dosa (96:6; 75:5), meragukan hari
akhirat (19:66).
Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori
pertama, insan menjadi makhluk paradoksal, yang berjuang
mengatasi konflik dua kekuatan yang saling bertentangan:
kekuatan mengikuti fitrah (memikul amanat Allah) dan kekuatan
mengikuti predisposisi negatif. Kedua kekuatan ini digambarkan
dengan kategori ayat-ayat ketiga.
Secara menarik proses penciptaan manusia atau asal kejadian
manusia dinisbahkan pada konsep insan dan basyar sekaligus.
Sebagai insan manusia diciptakan dari tanah liat, saripati
tanah, tanah (15:26; 55:14; 23:12; 32:7). Demikian pula basyar
berasal dari tanah liat, tanah (15:28; 38:71; 30:20) dan air
(25:54). Ini mendorong saya untuk menyimpulkan bahwa proses
penciptaan manusia menggambarkan secara simbolis karakteristik
basyari dan karakteristik insani. Menurut Qardhawi (1973: 76),
manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan Ilahi
(bain qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Yang pertama, unsur
material dan yang kedua unsur ruhani. Yang pertama unsur
basyari, yang kedua unsur insani. Keduanya harus tergabung
dalam keseimbangan. "Tidak boleh (seorang mukmin) mengurangi
hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh ia
mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh," kata Abbas
Mahmud al-'Aqqad (1974, 7:381).
Al-Nas. Konsep kunci ketiga ialah al-Nas yang mengacu pada
manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling
banyak disebut al-Qur'an (240 kali, lihat 'Abd al-Baqi,
al-Mu'jam; pada kata al-Nas). Tak mungkin dalam makalah
singkat ini, kita menjelaskan seluruh bidang semantik istilah
al-Nas. Cukuplah di sini ditunjukkan beberapa hal yang
memperkuat pertanyaan pada awal paragraf ini --yakni, al-Nas
menunjuk pada manusia sebagai makhluk sosial.
Pertama, Banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial
dengan karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan
ungkapan wa min al-Nas (dan diantara sebagian manusia). Dengan
memperhatikan ungkapan ini, kita menemukan kelompok manusia
yang menyatakan beriman, tapi sebetulnya tidak beriman (2:8),
yang mengambil sekutu terhadap Allah (2:165), yang hanya
memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang mempesonakan orang
dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tetapi memusuhi
kebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu,
petunjuk, dan al-Kitab (22:3,8; 31:20), yang menyembah Allah
dengan iman yang lemah (22:11; 29:10), yang menjual
pembicaraan yang menyesatkan (31:6); di samping ada sebagian
orang yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari kerelaan
Allah.
Kedua, dengan memperhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat
menyimpulkan, sebagian besar manusia mempunyai kwalitas
rendah, baik dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurut
al-Qur'an sebagian manusia itu tidak berilmu (7:187; 12:21;
28,68; 30:6, 30; 45:26; 34:28,36; 40:57), tidak bersyukur
(40:61; 2:243; 12:38), tidak beriman (11:17; 12:103; 13:1),
fasiq (5:49), melalaikan ayat-ayat Allah (10:92), kafir
(17:89; 25:50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22:18).
Ayat-ayat ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan
sedikitnya kelompok manusia yang beriman (4:66; 38:24; 2:88;
4:46; 4:155), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran
(18:22; 7:3; 27:62; 40:58; 69:42), yang bersyukur (34:13;
7:10; 23:78; 67:23; 32:9), yang selamat dari azab Allah
(11:116), yang tidak diperdayakan syetan (4:83). Surat 6116
menyimpulkan bukti kedua ini, Jika kamu ikuti kebanyakan yang
ada di bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jolan Allah.
Ketiga, al-Qur'an menegaskan bahwa petunjuk al-Qur'an bukanlah
hanya dimaksudkan pada manusia secara individual, tapi juga
manusia secara sosial. Al-Nas sering dihubungkan al-Qur'an
dengan petunjuk atau al-Kitab (57:25; 4:170; 14:1; 24:35;
39:27; dan sebagainya).
WELTANSCHAUUNG QUR'ANI TENTANG MANUSIA
Dari uraian di muka tampak al-Qur'an memandang manusia sebagai
makhluk biologis, psikologis dan sosial. Sebagaimana ada
hukum-hukum yang berkenaan dengan karakteristik biologis
manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia
sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial.
Manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur material, yang
dilambangkan manusia dengan unsur tanah. Pada keadaan itu,
manusia secara otomatis tunduk kepada takdir Allah di alam
semesta, sama taatnya seperti matahari, hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Ia dengan sendirinya musayyar. Namun manusia
sebagai insan dan al-Nas bertalian dengan unsur hembusan
Ilahi. Kepadanya dikenakan aturan-aturan, tapi ia diberikan
kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri daripadanya. Ia
menjadi mahkluk yang mukhayyar. Ia menyerap sifat-sifat
rabbaniah menurut ungkapan Ibn Arabi, seperti sama', bashar,
kalam, qadar. Ia mengemban wilayah Ilahiyah, seperti kata
al-Thabathabai. Karena itu, ia dituntut untuk bertanggung
jawab.
Karena pada manusia ada predisposisi negatif dan positif
sekaligus, menurut al-Qur'an, kewajiban manusia ialah
memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusia
tetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkrit
kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syari'at Islam
yang dirancang sesuai amanah. Al-Qur'an tak lain merupakan
rangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk memenuhi
janjinya itu.
Ada dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia yang
membedakannya dari binatang, yaitu potensi mengembangkan iman
dan ilmu. Usaha untuk mengembangkan keduanya disebut 'amal
shalih. "Karenanya, kita menyimpulkannya bahwa ilmu dan iman
adalah dasar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Inilah hakikat kemanusiaannya," tulis Mutahhari (tt.: 17).
Keduanya harus dikembangkan secara seimbang.
Dalam pandangan al-Qur'an, sedikit sekali orang yang dapat
mengembangkan ilmu dan iman ini sekaligus. Sedikit orang yang
beriman, sedikit orang yang berilmu, dan lebih sedikit lagi
orang yang beriman dan berilmu. Kelompok terakhir inilah yang
disebut al-Qur'an, "Allah mengangkat derajat orang-orang yang
beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu" (QS.
58:11). Makna hidup manusia diukur sejauh mana ia berhasil
beramal sebaik-baiknya, yakni sejauh mana ia mengembangkan
iman dan ilmunya. Ia lah yang menciptakan kehidupan dan
kematian untuk menguji kamu siapa diantara kamu yang paling
baik amalnya (QS. 67:2). Sesungguhnya kami jadikan apa yang
ada dipermukaan bumi sebagai perhiasan untuk menguji mereka,
siapa diantara mereka yang paling baik amalannya (18:7). Bila
Sartre mengatakan hidup ini absurd, al-Qur'an menyatakan hidup
ini medan untuk membuktikan 'amal shalih.
CATATAN
1. Obyek formal dari filsafat manusia ialah inti manusia, alam
kodratnya strukturnya yang fundamental. "Apa yang ingin
ditelaah bukanlah suatu makhluk, sebuah benda, tapi suatu
prinsip adanya (principe d'etre). Sesuatu yang olehnya manusia
menjadi apa yang terwujud, sesuatu yang olehnya manusia
mempunyai karakteristik yang khas, sesuatu yang olehnya ia
merupakan sebuah nilai yang unik." tulis Leahy (1985: 11)
2. Metodologi semantik didefinisikan sebagai an analytic study
of the key-terms of language with a view to arriving
eventually at a conceptual grasp of the Weltanschauung or
world-view of the people who use that language as tool not
only of speaking and thinking, but, more important still, of
conceptualizing and interpreting the world that surround them
(Izutsu, 1964:11)
3. Lihat al-Baqi, al-Mu'jam.
4. Karena banyak, pembaca dianjurkan melihat sendiri dalam
Al-Baqi, Mu'jam.
5. Dr Muhammad Mahmud Hijazi (1968,30:65) menjelaskan ayat
ini, "Allah telah memberi manusia gairah dan kemampuan untuk
meneliti dan menyelidiki untuk mengadakan percobaan sehingga
sampai pada pengetahuan tentang rahasia alam semesta serta
tabiat segala hal. Lalu ia menundukkan semuanya untuk berbakti
memenuhi kehendak manusia."
6. Al-Bayan ditafsirkan sebagai kemampuan berbicara,
pengetahuan tentang halal dan haram, kemampuan mengembangkan
ilmu. Lihat al-Syaukani (1964, 5:131), al-Thabathabai (TT,
19:95)
7. Abd al-Karim Biazar menulis tentang the Covenant in the
Qur'an sebagai kunci yang mempersatukan ayat-ayat dalam setiap
surat al-Qur'an. Surat-surat dalam al-Qur'an mengingatkan
manusia pada perjanjian Allah, yang terdiri dari pihak pertama
(Allah) pihak kedua (Manusia), nikmat Allah, daftaer kondisi
yang harus dipenuhi pihak kedua, janji, ancaman, saksi, sumpah
dengan ayat-ayat Allah, tanda-tanda yang berjanji, dan
pelajaran dari masa lalu. Biazar (1366) banyak memberikan
contoh-contoh yang menarik.
8. Tentang perjanjian manusia di alam dzarrah ini, terjadi
banyak ikhtilaf di kalangan mufassir. Uraian berbagai pendapat
tersebut beserta kritiknya disajikan lengkap oleh Subhani
(1400:75 106).

Menelusuri Jejak Syi’ah di Indonesia


Mendengar kata Syi'ah, tentu ingatan masyarakat, terutama muslim Indonesia melayang ke negeri di wilayah Asia barat, yakni Iran. Di sanalah Syiah berkembang pesat dan hingga kini masih menjadi paham dan aliran yang dipeluk mayoritas umat Islam di negeri yang terkenal dengan Negeri Para Mullah (para imam) itu.
Namun kini, aliran Syiah pelan namun pasti juga telah merembes keluar dari jazirah Persia dan masuk pula ke Indonesia. Dengungnya memang tidak begitu keras, tetapi komunitas ini telah menunjukkan eksistensinya. Sejarah pernah mencatat, pada 21 September 1997, diselenggarakan sebuah seminar nasional di Jakarta, yang dihadiri pejabat pemerintah, ABRI, MUI, pimpinan ormas Islam, dan masyarakat umum.
Melalui seminar itu, keluarlah sebuah keputusan penting menyangkut Syi'ah, antara lain; Syi'ah malakukan penyimpangan dan perusakan Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (paham Sunni, paham yang dianut mayoritas Islam Indonesia, -red), menurut Syi'ah, Al-Qur'an tidak sempurna, Syi'ah terbukti pelaku kejahatan, dituduh penghianat dan teroris. Puncaknya, seminar itu juga mengusulkan agar pemerintah RI cq. Kejaksaan Agung melarang Syi'ah, termasuk penyebaran buku-buku Syi'ah di Indonesia.
Namun dalam perkembangannya, justru kecenderungan untuk mempelajari Syi'ah makin meningkat. Buku-buku tentang Syi'ah pun dengan gampang bisa diperoleh di toko-toko buku. Bahkan lembaga atau komunitas Syi'ah juga berkembang pesat tanpa lagi takut dengan pelbagai gunjingan miring tentangnya. Sekadar catatan, Gatra edisi Idul Fitri, Desember tahun lalu dengan tangkas membidik geliat komunitas ini, terutama di Jakarta dan daerah sekitarnya.
Sebab itulah, selain untuk memahami adanya kepelbagaian aliran agama di Indonesia, Jumat sore 19 Desember akhir tahun lalu digelarlah diskusi seputar Islam Syi'ah di Sekretariat ICRP, kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Hadir sebagai narasumber Abdurrahman Abdullah dan Umar Shahab yang keduanya mengaku sebagai penganut Syi'ah.
Apa itu Syi'ah?
Menurut Abdurrahman Abdullah, Syi'ah secara etimologis merupakan kesepakatan atau kesamaan pikiran dan atau perbuatan dua orang atau lebih. Mengutip istilah Thabathaba'i, Abdurrahman mengatakan, "Ketika dua orang sama pikiran dengan yang lain, maka itu disebut Syi'ah". Sedang secara termonologis, menurutnya, mereka yang menyakini bahwa Khilafah, Imamah atau kepemimpinan langsung pasca Rasul adalah hak Ali bin Abi Thalib dan putra-putranya atas dasar Nash (ketentuan) yang ada dalam syari'at (Qur'an - Hadits) baik implisit maupun eksplisit. "Ini merupakan pernyataan Syekh Mufid, tokoh Syi'ah abad 3 dalam bukunya Awa Ila Maqala" sergahnya.
Abdurrahman yang sehari-harinya menjabat sebagai Direktur Sekolah Tinggi Agama Islam "Madina Ilmu" Bogor ini juga mengatakan, kemunculan Syi'ah sama dengan munculnya Islam itu sendiri, sehingga antara keduanya tidak bisa dipisahkan. Jika dalam perkembangannya muncul dan berbeda dengan berbagai aliran dalam Islam, itu merupakan sebuah keniscayaan. "Bahkan yang meletakkan fondasi pertama untuk berbeda itu Allah sendiri", tukasnya sambil menyitir surat Al-Ma'idah(5):48 dan Hud (11):118-119.
Akidah Syi'ah & Prinsip Dalam Syari'at Sebagaimana Sunni, Syi'ah juga memiliki prinsip dasar dalam teologinya. Dalam hal ini, Syi'ah mempunyai lima dasar, yakni Tauhid (sifat peng-Esaan Allah), Keadilan (Allah Maha Adil, dan manusia bebas berbuat apa saja, yang nanti akan diminta pertanggungjawaban), An-Nubuwwah (Kenabian), Imamah (dua belas Imam), Eskatologi -Ma'ad- (Hari Kiamat).
Sementara dalam landasan pengambilan hukum, Syi'ah memiliki dua argumentasi; Ijtihadiy (berdasarkan keyakinan personal), dan Yuresprudensial (hukum fiqih). Adapun sebagai sumber hukumnya Syi'ah berlandaskan pada Al-Qur'an, Sunnah atau hadits, termasuk hadist-nya para Imam, Ijma' (kesepakatan), dan Aqal (argumentasi demontratif).
Identitas Syi'ah & Kawin Muth'ah
Dalam kesempatan yang sama, Umar Shahab menyatakan, bahwa yang membedakan Syi'ah dengan yang lainnya adalah hanya di sekitar istilah Al wila li ahli bait (loyalitas kepada keluarga Nabi). Menurutnya loyalitas ini sudah ada sejak awal kenabian Muhammad. Loyalitas ini terjadi karena mereka melihat, bahwa Nabi dan keluarganya banyak menerima tindakan yang merugikan. "Misalnya tragedi pembantaian keluarga Nabi di Karbala Irak tahun 61 hijriah, di mana Husain dan anak-anaknya terbunuh, bahkan sebagian besar keluarga Nabi dibantai oleh penguasa Bani Umayyah saat itu," Umar mencontohkan.
Sementara menyinggung soal kawin Muth'ah, Abdurrahman Abdullah berpendapat, "Secara sosial Muth'ah (kawin atas dasar perjanjian atau kontrak, red) bisa menjadi solusi dalam kehidupan (hubungan-red) laki-laki dan perempuan, bukan dijadikan upaya melegalkan prostitusi," tegasnya. [icrp-online/syiahindonesia.com].

Sabtu, 03 Maret 2012

Makalah Kepemimpian Negara dengan Konteks Islam

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai individu, niscaya hidup dalam suatu masyarakat. Hal ini merupakan kodrat selama manusia hidup di dunia. Manusia akan mempengaruhi dan dipengaruhi olah segala hal yang terjadi dan berlaku dalam masyarakatnya, baik dalam jumlah banyak maupun dalam jumlah sedikit. Pengaruh itulah yang akan membuat manusia dengan segalah keunikannya akan memainkan peran dalam masyarakat.

Demikian pula organisasi yang berdiri dari kumpulan manusia, tentu akan mempunyai ciri dan karakteristik sendiri contohnya Negara Indonesia ini yang dimana Indonesia merupakan organisasi yang di naungi oleh organisasi dunia yaitu PBB (Persatuan Bangsa Bangsa). Akan tetapi organisasi pastilah tidak terlepas dengan yang namanya sebuah struktural yang dimana terdiri dari pemimpin, staff dan anggota. Jika kita memakai skala besar misalnya Negara yang dimana pemimpin Negara bisa kita sebut presiden/raja yang menjadi sebuah panutan dan penanggungjawab atas Negara tersebut.

Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki sistem pemerintahan Presidensial atau kepala Negara dan kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang presiden. Sistem pemerintahan presidensial pertama kali di terapkan di Indonesia Pada tahun 1945 dimana pada saat itu Ir. Soekarno ditunjuk sebagai presiden pertama di Republik Indonesia hingga sampai saat ini Indonesia dipimpin oleh presiden keenam yaitu DR. Susilo Bambang Yudoyono. Siapakah yang selanjutnya?

1.2 Rumusan Masalah

Seperti yang kita ketahui secara umum pemimpin di sebuah Negara dalam hal ini Persiden atau Raja memegang peranan penting dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakat. Tetapi bukan berarti semua pemimpin memiliki kapasitas yang ideal untuk menjalankan roda organisasi kenegaraan, contohnya di Negara kita sendiri telah terjadi enam kali pergantian kepemimpinan akan tetapi mengapa ketika pemimpin tersebut menjabat terkadang tidak sesuai dengan janji – janjinya semasa dia dalam kondisi kampanye. Kemungkinan besar ada sebuah kendala ketika pemimpin tersebut tidak mampu merealisasikan janjinya. Apakah keenam pemimpin di Indonesia kemarin sampai saat ini tidak ideal dimata masyarakat?, Ataukah keenam pemimpin kemarin hanya mencalonkan dirinya tanpa mengetahui tugas dan fungsi pemimpin sebagaimana mestinya?.

Dengan pertanyaan mendasar seperti inilah kita bisa telaah kritis tentang kepemimpinan yang ada di Indonesia, bagaimana maksud dan tujuan pemimpin Indonesia ketika berada di kursi tertinggi di Indonesia. Apakah mereka mendahulukan kepentingan individu atau masyarakat.

1.3 Ma2 .1.4 Manfaat Penulisan

Dengan ada beberapa aspek yang mengalami gradasi di tubuh Himpunan mahasiswa Islam saat ini, di harapkan penulisan makalah ini dapat merangsang kembali potensi – potensi yang ada untuk sampai pada tatanan revolusi budaya yang terkontrol. Dan dengan memahami kondisi Himpunan mahasiswa Islam hari ini, di harapkan penulisan ini dapat memberikan gambaran tentang kepemimpianan yang tepat di Indonesia ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tentang Kepemimpinan

Sejak awal permulaan sejarah, mungkin tidak akan pernah ada masyarakat atau Negara yang tidak mempunyai pemimpin, kalaupun ada pasti tidak akan bertahan lama. begitupun dalam sebuah organisasi, untuk itulah nilai kepemimpinan menjadi sangat penting dalam menyelenggarakan urusan – urusan dalam sebuah Negara. Indonesia adalah Negara dan Negara pastilah memiliki pemimpin yang sering kita sebut dengan nama presiden. Sebelum kita membahas lebih jauh tentang kepemimpinan khususnya presiden di Indonesia, alangkah lebih baiknya di awali dengan pemahaman terhadap definisi tentang sesuatu objek lebih mudah memahami, menganalisa, serta menarik kesimpulan terhadap sesuatu objek.

Sebab dengan rumusan melalui definisi yang jelas mengenai sesuatu akan mempermudah seseorang atau sekelompok orang untuk mempelajari dan memahami lebih lanjut. Di bawah ini di sajikan beberapa definisi yang di kutip oleh Fred E. Fieldler dan Martin M. Chamers : Pertama, Leadership is the exercises of authority and the making of decisions (Dubin, 1951). Artinya, Kepemimpinan adalah aktivitas para pemegang kekuasaan dan membuat keputusan. Kedua, Leadership is the initiation of acts that results in a consistent pattern of group interaction directedtoward the solution of matual problems (Humphill, 1945). Artinya, Kepemimpinan adalah langkah pertama yang hasilnya berupa polainteraksi kelompok yang konsisten dan bertujuan menyelesaikan problem – problem yang saling berkaitan. Ketiga, Leadership is the process of influencing group activities toward goal setting and goal achievement (Stogdill, 1948). Artinya, kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan. Dan esensi daripada kepemimpinan menurut H. Blanchard adalah tercapainya tujuan melalui kerja sama kelompok.

Demikianlah pandangan atau pendapat mengenai arti, batasan atau definisi kepemimpinan dan masi banyak lagi. Dari berbagai pendapat tersebut, memberikan gambaran bahwa kepemimpinan dilihat dari sudut pendekatan apapun mempunyai sifat universalitas dan merupakan suatu gejala sosial. Butir – butir pengertian dari berbagai definisi di atas pada hakikatnya memberikan makna kepemimpinan ialah kemampuan seseorang mempengaruhi prilaku orang lain untuk berfikir dan berprilaku dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan organisasi dalam situasi tertentu.

2.2 Urgensi Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan perkara yang menjadi kepedulian masyarakat, utamanya setelah suatu Negara atau masyarakat menyadari eksistensinya, serta sadar akan tujuan yang hendak dicapai dengan eksistensinya tersebut. Tanpa adanya pemimpin, komunitas akan sekedar suatu kumpulan manusia yang tidak jelas arah dan tujuan hidupnya, sehingga tiada ubahnya semacam sekelompok serigala yang ada dalam daerah tertentu. Dapat saja terjadi suatu komunitas yang seperti digambarkan oleh Thomas Hobbes laksana homo homini lupus, dan bellum omnium contra omnes.

Dalam sejarah ummat manusia dapat kita amati peran pemimpin dalam membawa masyarakat atau negara bangsanya. Maju mundur suatu masyarakat atau negara-bangsa sangat tergantung pemimpinnya. Kita kenal pemimpin dunia yang membawa nama besar negara-bangsanya seperti Napoleon Bonaparte, Adolf Hitler, Mussolini, J.F.Kennedy, Ghandi, Ir. Soekarno dan sebagainya. Namun bila pemimpin tersebut lupa diri akan perannya sebagai pembimbing dan penggembala pengikutnya, dapat saja menjerumuskan pengikutnya ke lembah kenestapaan.

Kepemimpinan telah menjadi komoditas kehidupan masyarakat sejak zaman Mesir kuno, zaman Yunani kuno yang berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Masehi. Kepemimpinan merupakan fenomena kehidupan manusia universal. J.M.Burns mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan perkara yang paling menjadi kepedulian ummat manusia tetapi merupakan fenomena yang paling kurang difahami.

Perlu dicatat bahwa The Oxford English Dictionary terbitan tahun 1933 menyatakan bahwa istilah leader atau pemimpin dalam bahasa Inggris baru dikenal sekitar tahun 1300-an. Pimpinan suatu komunitas yang dikenal sebelumnya adalah seperti raja, komandan, hulubalang dan sebagainya. Bahkan istilah leadership baru muncul sekitar pertengahan abad ke XIX.

Mengingat begitu besar peran pemimpin dalam membawa pengikutnya, seorang pemimpin yang bertanggung jawab perlu memahami kepemimpinan yang tepat yang dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan pengikutnya, masyarakat atau negara-bangsanya. Lalu bagaimana dengan kepemimpinan di Indonesia saat ini, apakah sudah mampu mensejahterakan pengikutnya, menjalankan tugas dan wewenangnya dengan baik.

2.3 Bentuk – Bentuk Kepemimpinan Di Indonesia

Melihat sebuah permasalahan yang terjadi di Indonesia tentang kepemimpinan, ada banyak bentuk – bentuk kepemimpinan yang pernah kita lihat yang melekat pada presiden kita yang pertama hingga saat ini.

Pertama, Ir. Soekarno Adalah bapak proklamator, seorang orator ulung yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Beliau memiliki gaya kepemimpinan yang sangat populis, bertempramen meledak-ledak, tidak jarang lembut dan menyukai keindahan. Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yang juga menonjol dan Ir. Soekarno adalah percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif dan inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas ketergantungan dari negara-negara Barat (Amerika dan Eropa).

Berbagai gejolak di tanah air terjadi selama kepemimpinan Presiden Soekarno, akibat dari adanya kebhinekaan dan pluralitas masyarakat Indonesia serta ketidakpuasan memunculkan gerakan-gerakan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa melalui pemberontakan-pemberontakan yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), antara lain DI/TII, Permesta dan yang belum terselesaikan sampai dengan saat ini adalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Gerakan Papua Merdeka (GPM). Ir. Soekarno adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan bangsanya. Namun berdasarkan perjalanan sejarah kepemimpinannya, ciri kepemimpinan yang demikian ternyata mengarah pada figur sentral dan kultus individu.

Menjelang akhir kepemimpinannya terjadi tindakan politik yang sangat bertentangan dengan UUD 1945, yaitu mengangkat Ketua MPR (S) juga. Soekarno termasuk sebagai tokoh nasionalis dan anti-kolonialisme yang pertama, baik di dalam negeri maupun untuk lingkup Asia, meliputi negeri-negeri seperti India, Cina, Vietnam, dan lain-lainnya. Tokoh-tokoh nasionalis anti-kolonialisme seperti inilah pencipta Asia pasca-kolonial. Dalam perjuangannya, mereka harus memiliki visi kemasyarakatan dan visi tentang negara merdeka. Ini khususnya ada dalam dasawarsa l920-an dan 1930-an pada masa kolonialisme kelihatan kokoh secara alamiah dan legal di dunia. Prinsip politik mempersatukan elite gaya Soekarno adalah "alle leden van de familie aan een eet-tafel" (semua anggota keluarga duduk bersama di satu meja makan). Dia memperhatikan asal-usul daerah, suku, golongan, dan juga partai.

Kedua, Soeharto Pemimpin yang punya visi dan misi. Target jangka pendek dan jangka panjangnya sangat jelas. Mahir dalam strategi, detailis dan pandai dalam menggunakan kesempatan. Pembawaaannya formal dan tidak hangat dalam bergaul. Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.

Dalam gaya kepemimpinan Pak Harto, unsur manusia sangat menonjol. Bapak Presiden memiliki kemampuan luar biasa dalam mengelola sumberdaya manusia Indonesia, sehingga seluruh potensi bangsa dapat bergerak serempak ke arah kemajuan bersama. Dengan perkataan lain, manajemen gaya Soeharto adalah
manajemen sumberdaya manusia yang sangat handal
.

Penuh dengan intrik dan kontoversi, seperti pengambil alihan kekuasaan dari soekarno yang sampai saat sekarang masih menimbulkan pro kontra. Semua usaha keras selama memimpin tercoreng dengan semakin merajalelanya korupsi di zaman pemerintahannya. Dalam hal ini dan dalam berbagai aspek lain, Soeharto dapat dilihat sebagai seorang "Stalinis" ala Jawa yang juga mengenal fenomena sejarah tersebut. Dalam rangka ini, Soeharto tidak kenal teman, pendukung, atau sekutu lama. Dia sangat ruthless memecat dan minyingkirkan orang yang dia pandang tidak berguna atau tampil sebagai rival.

Ketiga, B.J Habibi Menjadi presiden bukan karena keinginannya. Hanya karena kondisi sehingga ia jadi presiden. Orang yang cerdas tapi terlalu lugu dalam politik. Sebenarnya gaya kepemimpinan Presiden Habibie adalah gaya kepemimpinan Dedikatif-Fasilitatif, merupakan sendi dan Kepemimpinan Demokratik. Pada masa pemerintahan B.J Habibie ini, kebebasan pers dibuka lebar-lebar sehingga melahirkan demokratisasi yang lebih besar. Pada saat itu pula peraturan peraturan perundang undangan banyak dibuat. Pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Habiebi sangat terbuka dalam berbicara tetapi tidak pandai dalam mendengar, akrab dalam bergaul, tetapi tidak jarang eksplosif. Sangat detailis, suka uji coba tapi tetapi kurang tekun dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Dalam penyelengaraan Negara Habiebi pada dasarnya seorang liberal karena kehidupan dan pendidikan yang lama di dunia barat. Gaya komunikasinya penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau memikirkan risikonya.

Tatkala Habibie dalam situasi penuh emosional, ia cenderung bertindak atau mengambil keputusan secara cepat. Seolah ia kehilangan kesabaran untuk menurunkan amarahnya. Bertindak cepat, rupanya, salah satu solusi untuk menurunkan tensinya. Karakteristik ini diilustrasikan dengan kisah lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Habibie digambarkan sebagai pribadi yang terbuka, namun terkesan mau menang sendiri dalam berwacana dan alergi terhadap kritik.

Keempat, Abdurrahman Wahid Seorang kiai yang sangat liberal dalam pemikirannya, penuh dengan ide, dan berkepemimpinan ala LSM. Gaya kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid adalah gaya kepemimpinan Responsif-Akomodatif, yang berusaha untuk mengagregasikan semua kepentingan yang beraneka ragam yang diharapkan dapat dijadikan menjadi satu kesepakatan atau keputusan yang memihki keabsahan. Pelaksanaan dan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan diharapkan mampu menggerakkan partisipasi aktif para pelaksana di lapangan, karena merasa ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan atau kebijaksanaan. Beliau ini awalnya memberikan banyak harapan untuk kemajuan Indonesia. Seolah bisa menjadi figur yang bisa diterima oleh berbagai kelompok didalam dan luar negeri.

Sikap toleran terhadap sesame dan merangkul pihak yang tertindan merupakan pemihakannya yang tegas terhdap berbagai kebijakan yang ada di Negara atau pihak – pihak tertentu. Sisi humanis Gus Dur inilah yang pada akhirnya telah menorehkan sejarah kesuksesannya dengan menduduki jabatan strategis, seperti Persiden pada Non Violence Peace Movement yang berkedudukan di Soul Korea Selatan, Anggota Dewan pada International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya yang bermarkas di Israel, Presiden Kehormatan pada Internasional and Interreligious for Reconciliation and Recontruction di London Ingris, pendiri dan sekaligus anggota pada Simon Perez Center for Peace yang berkedudukan di Tel Aviv, Israel, dan aktif di berbagai lembaga international lainnya.

Kelima, Megawati Soekarno Putri presiden yang n berpenampilan tenang dan tampak kurang acuh dalam menghadapi persoalan. Tetapi dalam hal-hal tertentu megawati memiliki determinasi dalam kepemimpinannya, misalnya mengenai persoalan di BPPN, kenaikan harga BBM dan pemberlakuan darurat militer di Aceh Nanggroe Darussalam. Gaya kepemimpinan megawati yang anti kekerasan itu tepat sekali untuk menghadapi situasi bangsa yang sedang memanas. Megawati lebih menonjolkan kepemimpinan dalam budaya ketimuran. Ia cukup lama dalam menimbang ­nimbang sesuatu keputusan yang akan diambilnya. Tetapi begitu keputusan itu diambil, tidak akan berubah lagi.

Gaya kepemimpinan seperti bukanlah suatu ke1emahan. Seperti dikatakan oleh Frans Seda: "Dia punya intuisi tajam. Sering kita berpikir, secara logika, menganalisa fakta-fakta, menyodorkan bukti-bukti, tapi tetap saja belum pas. Di saat itulah Mega bertindak berdasarkan intuisinya, yang oleh orang-orang lain tidak terpikirkan sebelumnya." Cukup demokratis, tapi pribadi Megawati dinilai tertutup dan cepat emosional. Ia alergi pada kritik. Komunikasinya didominasi oleh keluhan dan uneg uneg, nyaris tidak pernah menyentuh visi misi pemerintahannya.

Keenam, Susilo B. Yudhoyono Beliau ini presiden pertama yang dipilih oleh rakyat. Orangnya mampu dan bisa menjadi presiden. Juga cukup bersih, kemajuan ekonomi dan stabilitas negara terlihat membaik. Sayang tidak mendapat dukungan yang kuat di Parlemen. Membuat beliau tidak leluasa mengambil keputusan karena harus mempertimbangkan dukungannya di parlemen. Apalagi untuk mengangkat kasus korupsi dari orang dengan back ground parpol besar, beliau keliahatan kesulitan. Sayang sekali saat Indonesia punya orang yang tepat untuk memimpin, parlemennya dipenuhi oleh begundal-begundal oportunis yang haus uang sogokan.

Pembawaan SBY, karena dibesarkan dalam lingkungan tentara dan ia juga berlatar belakang tentara karir, tampak agak formal. Kaum ibu tertarik kepada SBY karena ia santun dalam setiap penampilan dan apik pula berbusana. Penampilan semacam ini meningkatkan citra SBY di mata masyarakat.
SBY sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun.
Sangat jauh dari anggapan sementara kalangan yang menyebut SBY sebagai figur peragu, lambat, dan tidak "decisive" (tegas). Sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu defensif terhadap kritik. Hanya sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai buruk. Ia dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik.

Dari berbagai pembentukan karakter kepemimpian Indonesia sangat banyak perbedaan yang signifikan dari tiap – tiap pemimpin di Negara kita, dan terkadang sifat – sifat tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian masyarakat yang mengidolakanya. Jadi siapakah yang akan melanjutkan tongkat estapet Negara ini kedepannya?. Kemungkinan akan banyak kandidat berikutnya yang berusaha bersaing untuk menduduki kekuasaan tertinggi di Negara ini, mungkin saya, anda, atau merekah semua berpotensi untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi pemimpin yang bagaimana yang diharapkan untuk Indonesia saat ini dan kedepannya ?. Pertanyaan ini muncul ketika saya mendegar “gossip” sekelompok lelaki yang berusaha mengkritik pemimpin – pemimpin di Indonesia ini. Benar bahwa masyarakat atau anggota tidak pernah lepas dari pembahasan kepemimpinan. Buruknya seorang pemimpin hadir karena adanya perbincangan dari anggota atau masyarakanya sendiri, wajar saja masyarakat berlaku seperti itu karena jangan sampai ketika presiden atau pemimpin tidak di kritik dia bakalan menggunakan jabatan tersebut ke jalur yang tidak sesuai dengan tujuan Negara ini.

Ketimpangan Negara pastilah tidak terlepas dari pemerintahan yang ada yang turut andil dalam melaksanakan roda pemerintahan. Jadi ketika terjadi penurunan maupun kenaikan kualitas organisasi atau Negara bukan semata mata akibat pemimpin yang ada melaikan ada juga campur tangan dari pemerintahan, duet ini sering kita sebut sebagai birokrasi.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Birokrasi

Seperti yang sempat di singgung di atas birokrasi selalu menjadi perhatian masyarakat kita. Dan tiap kali mendengar kata “birokrasi”, kita langsung terpikir mengenai berbagai urusan prosedural penyelesaian surat-surat yang berkaitan dengan pemerintahan. Birokrasi kini dipandang sebagai sebuah sistem dan alat manajemen pemerintahan yang amat buruk. Dikatakan demikian karena kita mencium bahwa aroma birokrasi sudah melenceng dari tujuan semula sebagai medium penyelenggaraan tugas-tugas kemanusiaan, yaitu melayani masyarakat (public service) dengan sebaik-baiknya.

Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan sistem ini telah dianggap sebagai “tujuan” bukan lagi sekadar “alat” untuk mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi telah lama menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Terkesan, mustahil negara tanpa birokrasi. Tapi, birokrasi seperti apa yang sangat menjanjikan bagi kita kalau sudah demikian parahnya penyakit yang melekat dalam tubuhnya itu?

Sangat penting apabila kita meninjau kembali definisi birokrasi. Menurut Peter M. Blau (2000:4), birokrasi adalah “tipe organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis”. Poin pikiran penting dari definisi di atas adalah bahwa birokrasi merupakan alat untuk memuluskan atau mempermudah jalannya penerapan kebijakan pemerintah dalam upaya
melayani masyarakat.

Kenyataan yang terjadi hingga detik ini, birokrasi hanya sebagai “perpanjangan tangan” pemerintah untuk dilayani masyarakat. Atau dengan birokrasi pejabat pemerintahan ingin mencari keuntungan lewat birokrasi. Sebuah logika yang terbalik, memang! Seharusnya birokrasi adalah alat untuk melayani masyarakat dengan berbagai macam bentuk kebijakan yang dihasilkan pemerintah.

Birokrasi menjadi sarang bagi beberapa oknum yang berupaya memanfaatkan sistem ini. Betapa mengherankan jika mengingat seluruh bangsa dan Negara di dunia hanya memilih satu tujuan belaka; menumpas kejahatan manusiawi, perkosaan, perampokan, dan bentuk-bentuk kriminalitas lainnya.

Adat istiadat dan tradisi kuno memang sudah tidak nampak lagi. Sebaliknya, muncul budaya korupsi-kolusi-nepotisme (popular disebut KKN). Dalam keadaan ini, tujuan sebagian besar ummat manusia bukan lagi mencari kebenaran yang hakiki. Melainkan bagaiman mencari kenikmatan hidup dan kekayaan materi (Bersikap hedonitis). Birokrasi telah menjadi “terali besi” (iron cage) yang membuat pengap kondisi bangsa kita akibat ulah para “penjahat berbaju birokrat”, alih-alih sampai berimbas kepada masyarakat, wajar saja banyak refleksi yang muncul dari masyarakatnya Negara kita sendiri. Perbuatan seperti ini bisa menjadi sebuah budaya yang berkembang di Indonesia, dan tidak ada lagi rasa canggung untuk melakukannya. Karena yang mereka pikirkan birokrat hanya membuat kita terjajah di negeri sendiri.

3.2 Budaya Birokrasi Indonesia

Mengapa birokrasi menjadi seperti ini karena adanya sebuah budaya yang tertanam dalam ideologhi manusia, di dalam buku Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia sempat menyinggung tentang korupsi di Indonesia, secara international Indonesia sudah cukup lama dikenal sebagai salah satu Negara juara korupsi di dunia. Sebagai mana dikemukakan oleh Transparency International (TI), sejak beberapa tahun belakangan ini, posisi Indonesia dalam indeks persepsi korupsi (IPK) yang dibuat oleh TI, tidak bayak berubah.

Sebagaimana terungkap dalam IPK 2002, dari 102 negara di dunia yang di survei oleh TI, Indonesia menempati urutan keempat bersama-sama dengan Kenya. Sedangkan untuk wilayah Asia, Indonesia berada di urutan kedua setelah Bangladesh. Tujuh Negara lain yang masuk dalam kelompok sepuluh Negara juara korupsi 2002 adalah Nigeria, Paraguai, Madagaskar, Angola, Azebaijan, Uganda, dan Moldeva.

Inilah realitas yang ada di Negara kita, padahal ketika kita kajih lebih dalam Indonesia merupakan Negara yang banyak di huni oleh ummat beragama khususnya agama Islam. Yang diama setiap agama memiliki pemahaman tentang korupsi yang dalam artiannya mengambil hak orang lain. Birokrasi berusaha memisahkan antara keberagamaannya dengan tingkahlakunya ketika berada didalam birokrasi. Artinya agama hanyalah ketika kita berada pada aktifitas kerohanian saja selain dari itu agama tidak memiliki campurtangan terhadap aktifitas sosialnya seseorang.

Perbuatan seperti ini muncul dari ego dan emosi seseorang, dalam buku Quantum Akhlak menjelaskan manusia seperti ini tujuannya hanya untuk menggapai keuntungan dan kesenangan pribadi. Perbuatan seperti ini, dilihat dari aspek dasar dan tujuanya, sama sekali tidak berkaitan dengan akhlak. Nyatanya di dalam buku Psikologhi Agama menjelaskan bahwa perbuatan selalu sejalan dengan akhlak.

Terjadinya pemisah antara perbuatan dan akhlak, agama dan aktifitas social di akibatkan karena penanaman ideologi sekular. Menurut Nurkholis Majid sekularisme adalah suatu faham yang berpenderian bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, agama tidak dapat diperankan untuk ikut campur dalam tata kehidupan. Tegasnya, wahyu yang mengadung nila-nilai pengertian agama harus dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi wahyu atau agama tidak boleh dibawa-bawa untuk menyelesaikan persoalan dunia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena agama hanya urusan individu dengan Tuhannya. Pengertian ini tentu akan berlawanan dengan Islam. Oleh sebab itu adanya sekulerisasi merupakan tantangan dalam Negara ini.

Perlu dimakumi bahwa sekulerisrme ini lahir didunia barat pada akhir abad pertengahan dan dikonsepkan serta dibidani oleh dunia barat yang berjiwa Yahudi dan Kristen. Karena munculnya dari barat dan sumbernya bersentral dari manusia, maka adanya nilai benar dan salah, baik dan buruk, halal dan haram, juga ditentukan manusia. Jadi manusialah pusat dari segala-galanya.

3.3 Hadirnya Sekularisme

Seperti kita ketahui bersama Sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaa. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu.

Sekularisme juga merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutamanya yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan. Tujuan dan argumen yang mendukung sekularisme beragam dalam Laisisme Eropa, di usulkan bahwa sekularisme adalah gerakan menuju modernisasi dan menjauh dari nilai-nilai keagamaan tradisional.

Dalam kajian keagamaan, masyarakat dunia barat pada umumnya di anggap sebagai sekular. Hal ini di karenakan kebebasan beragama yang hampir penuh tanpa sangsi legal atau sosial, dan juga karena kepercayaan umum bahwa agama tidak menentukan keputusan politis. Tentu saja, pandangan moral yang muncul dari tradisi kegamaan tetap penting di dalam sebagian dari negara-negara ini.

Sekularisme juga dapat berarti ideologi sosial. Di sini kepercayaan keagamaan atau supranatural tidak dianggap sebagai kunci penting dalam memahami dunia, dan oleh karena itu di pisahkan dari masalah-masalah pemerintahan dan pengambilan keputusan.

Sekularisme tidak dengan sendirinya adalah ateisme, banyak para Sekularis adalah seorang yang religius dan para Ateis yang menerima pengaruh dari agama dalam pemerintahan atau masyarakat. Sekularime adalah komponen penting dalam ideologi humanisme sekular. Beberapa masyarakat menjadi semakin sekular secara alamiah sebagai akibat dari proses sosial alih-alih karena pengaruh gerakan sekular, hal seperti ini dikenal sebagai sekularisasi.

Ketika kita meninjau dari sejarah awal masuknya sekularisme di Indonesia terjadi pada saat Indonesia ingin merdeka. Pada saat itu terjadi perdebatan sengit antara pejuang Islam yang menghendaki negara Islam dan kalangan nasionalis sekular yang menolak penyatuan agama dengan Negara. Ringkas cerita, yang terjadi adalah kompromi dengan lahirnya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menyebutkan bahwa negara dibentuk berdasar pada, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Diproklamasikanlah Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ternyata, usianya hanya 1 hari. Sebab, pada 18 Agustus 1945 tujuh kata ’dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam Piagam Jakarta dicoret oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kejadian yang menyolok mata ini dirasakan umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang diliputi kabut rahasia.

Ketika kita memakai perspektif keislaman, jelas bahwa kaum nasionalis sekuler tidak tahu arti bersyukur, dan tidak tahu arti syukur nikmat kemerdekaan. PPKI jelas telah menyimpang dari wewenag tugasnya, yaitu mensahkan Undang-undang Dasar yang telah rampung dibuat oleh BPUPKI, kemudian memilih Presiden dan Wakil Presiden; tetapi bukan mencoret Piagam Jakarta yang telah ditandatangani 56 hari sebelumnya oleh 9 orang tokoh terkemuka dari bermacam-macam aliran dan golongan. Pencoretan ini jelas tidak sah dan merupakan pengkhianatan sejarah terbesar sesudah proklamasi kemerdekaan! Ya, dimana ada pemimpin ada pula penghianatan yang munafik!.

Pada masa Soekarno, Islam dipinggirkan. Bahkan Indonesia hendak diarahkan pada Nasakom (nasionalisme, agama dan komunisme). Isu syariah Islam dibungkam. Salah satu partai yang gigih menyuarakan Islam dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno pada akhir tahun 1960 melalui Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960. Di benak orang Masyumi kala itu Soekarno adalah diktator bagi umat Islam. Dalam bukunya berjudul Sarinah, Soekarno menyatakan kekagumannya kepada Musta Kamal yang menerapkan sekularisme di Turki.

Ternyata sekularisme di Indonesia sudah berkembang sejak awal berdirinya Negara ini. Salah satu sebab mesuknya sekular juga di akibatkan oleh penjajahan selama ratusan tahun oleh barat. Benar bahwa hari ini kita tidak dijajah lagi oleh penjajah karena telah di berantas oleh para pejuang bangsa ini. Setelah penjajahan fisik usai di Negara kita ternyata kita sampai saat ini masi terjajah dari segi ideologi. Barat sudah menjajah pemikiran-pemikiran masyarakat melalui.

3.4 Dampak Sekularisme di Indonesia

Sekulerisasi dan sekulerisme memperoleh tempat yang subur dikalangan ilmu-ilmu social barat. Akan tetapi, ketika dihadapkan pada Negara-negara dengan mayoritas penduduk Islam, dan bahkan di Amerika Latin yang beragama Katolik, tesis sekulerisme ini rutuh dengan sendirinya. Menurut Amin Rais, sekulerisme, baik yang modern apalagi yang radikal, tidak memperoleh tempat dalam agama Islam.

Jeffry Hadden menegaskan bahwa tessis selularisasi telah demikian luasnya dirangkul oleh para sosiolog sehingga telah menjadi suatu kebenaran yang tidak terhalangi dan diterima sudah demikian. Arah Hadden tidak jauh dari sasarannya. Akan tetapi, dalam tahun-tahun terakhir berbagai tantangan terhadap tesis sekularisasi telah muncul. Hadden sendiri menegaskan bahwa tesis ini secara empiris adalah palsu, dan tesis ini lebih ditopang oleh antagonisme para sosiolog terhadap agama yang terorganisir bila dibandingkan dengan penyelidikan bukti yang sistematis.

Dalam draft RUU Intelijen, tertera sebuah frasa ’ancaman nasional’ juga menjadi salah satu poin yang menuai kritikan karena tak terdefenisikan jelas apa dan siapa yang dimaksud. Tapi menarik bila kita melihat masalah-masalah negeri kita sekarang dengan mengaitkannya dengan frasa tersebut. Bila kita menganalisis lebih dalam lagi, sekulerisme-lah sebenarnya menjadi ancaman Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda salah seorang tokoh politiknya Snouck Hurgronye pernah menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama melainkan “Islam Politik” (Aqib Suminto, Op. Cit). Dalam praktiknya Belanda memberangus institusi pemerintahan/ kesultanan Islam (Al wa’ie, agustus 2008).

Bukankah ini bentuk sekulerisasi ! Sekulerisme telah menjauhkan Indonesia dari fitrahnya sebagai manusia. Aturan-aturan Sang Pencipta (baca: Islam) yang semestinya diterapkan dalam aspek-aspek kehidupan, malah dicampakkan. Sekulerisme dalam bidang Pemerintahan berupa sistem demokrasinya, telah melahirkan politik yang permisif dan pragmatis. Dan lihatlah apa yang terjadi dalam politik kita sekarang. Sekulerisme di bidang hukum, melahirkan para mafia-mafia peradilan dan keadilan hanya sebuah jargon saja.

Sekulerisme dalam kehidupan sosial, membuat masyarakat makin individualistis. Wajarlah ’bibit-bibit teroris’ muncul karena masyarakat kita sudah tidak memiliki kepekaan sosial.

Sekulerisme dalam ekonomi yakni kapitalisme dengan asas ekonomi neoliberalismenya serta konsep privatisasi atas sumber daya alam malah membuat rakyat makin miskin dan sengsara.

Sekulerisme yang merambat dalam aspek budaya, telah menghancurkan sendi-sendi moral bangsa terutama bagi generasi-generasinya.

Hal-hal ini merupakan ancaman serius bangsa ini. Ataukah para penguasa tidak melihat hal itu sebagai ancaman? Atau siapakah yang dimaksud ancaman dalam RUU Intelijen tersebut? Jangan sampai suara-suara kritis rakyat atas masalah-masalah bangsa yang disebabkan oleh sekulerisme tadi, terbungkam seperti yang terjadi pada masa orde baru. Karena mungkin saja ancaman yang dimaksud adalah hal yang berseberangan dengan kepentingan penguasa. Ujung dari sekularisme hanyalah pragmatisme kebendaan. Oleh sebab itu, tidak heran bila kemudian lahir generasi-generasi pragmatis “tanpa nilai” yang hanya peduli dengan Indonesia bila secara materi menguntungkan. Bila tidak, tanpa rasa menyesal mereka akan katakan, Go to hell Indonesia!, kemudian menghalalkan berbagai cara untuk memperkaya diri walaupun harus mengeksploitasi kekayaan negeri ini dan mengorbankan kepentingan bangsanya.

3.5 Pemimpian Sebagai Pembentuk Budaya

Sepeti yang di bahas pada tema sebelumnya bahwa salah satu pemicu hadirnya budaya sekular di Indonesia, karena pasca terjajahnya Indonesia oleh kolonia Belanda dari fisik maupun ideologi. Belanda sempat menanamkan ideologi tersebut dengan cara membuat sekolah rakyat yang sempat di ikuti oleh presiden pertama kita Ir.Soekarno.

Dijelaskan juga pada buku “Argumen Islam Untuk Pluralisme” pada kata pengantarnya, bahwa di Indonesia pemikir yang pertama kali memperkenalkan paham sekular adalah Bung Karno, seorang pemimpin kebagsaan. Tentu saja ia memahami bahwa Hindia Belanda pada waktu itu adalah sebuah negeri muslim. Namun, ia juga menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural. Secara implisit Bung Karno justru berpendapat bahwa yang bisa menjadi perekat kebangsaan adalah sekularisme. Karena sekularisme akan memberi peluang dalam hidupnya kelompok-kelompok masyarakat untuk dapat berkembang, tetapi tetap bersatu.

Dengan demikian secara nalar kita sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pembentukan budahya pada suatu kelompok itu berawal pada pemikiran seorang pemimpin. Salah satu contoh ketika Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan nama Gus Dur menjabat sebagai pemimpin di Indonesia. Budaya yang berusaha Gus Dur tanamkan di Indonesia adalah budaya pluralisme.

3.6 Pemimpin Yang Memimpin Rakyat

Ketika melihat judulnya mungkin pembaca sangat bertanya-tanya tentang maksud dari judul tersebut, berlandaskan historis kepemimpinan yang ada dan berbagai macam karakter pemimpin di Indonesia serta tumbuhnya budaya sekular, sebuah masalah kini terjadi. Orientasi menjadi seorang pemimpin sebelum menduduki kursi kepemimpinan bukan lagi untuk memimpin rakyat ini melainkan berusaha untuk merauk keuntungan dirinya dari segi materi. Akibatnya berimbas kepada masyarakat yang hanya “disuap” dengan janji-janji. Pemimpin bukan lagi sosok yang bisa menjadi contoh teladan yang baik. Jika begini adanya, wajarlah jika para ParPol saling bertarung untuk menduduki kursi birokrasi. Setelah penjelasan di atas muncul pertanyaan yang mendasar tentang pemimpin yang tepat untuk Negara yang telah di timpah “musibah”?.

Cerminan sifat dan cara kepemimpinan Rasulullah Muhammad. SAW mungkin bisa menjadi solusi yang tepat untuk masalah tersebut. Menurut Karen Armstrong dalam bukunya The Road to Muhammad, dia menggambarkan sosok keadilan seorang Muhammad bahwa misi Nabi yang utama adalah memperbaiki moral masyarakat dan menegakkan sebuah sistem kemasyarakatan berlandaskan keadilan yang jauh dari penindasan. Armstrong juga menggambarkan Rasulullah sebagai seorang politikus yang berkepentingan politik selama politik itu membantunya untuk menegakkan keadilan. Di dalam Al-Quran dijelaskan Surat Al-Hadid (57) : 25 : “Sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya menusia dapat melaksanakan keadilan……”

Benar bahwa tidak ada lagi nabi setelah Rasulullah karena dia adalah peutup kenabian di dunia, akan tetapi jiwa-jiwa dan sifat-sifatnya Rasulullah tidak begitu saja memudar, setiap manusia berpotensi untuk memiliki sifat kenabian, selama tertanamnya ideologi Islam dan kepemimpinan Rasulullah.

3.7 Penanaman Ideologi HMI

Karena demikian adanya di realitas kita sebagai kader HMI yang dikenal sebagia organisasi Islam yang berorientasi di bidang pengkaderan dan pergerakan tidak begitu saja langsung menerima apa yang di tawarkan oleh birokrasi. Di tambah dengan adanya sifat kritis, maka dari itulah kita harus betul-betul mempertimbangkan semua ini. Penanaman ideologi salah satu solusi kongkrit untuk membentuk pribadi kepemimpinan yang tepat untuk Indonesia kedepannya.

Berangkat dari logika sederhana ketika kita ingin merubah sebuah kaum maka rubahlah diri kita terlebi dahulu, analogi sederhananya mustahil kita memberikan sesuatu ketika kita tidak memiliki sesuatu itu. Jadi intinya kembalikan kepada pendirian HMI itu sediri dan penanaman tentang nilai-nilai perjuangan.

Pemaknaan terhadap islam sebagai ideologi dan Rasulullah sebagai cerminan sifat keadilan ini bisa membantu kita untuk membentuk sebuah masyarakat madani. Di dalam salah satu materi NDP menjelaskan bahwa individu atau seseorang mampu merubah sekelompok masyarakat atua kaum. Tetapi ini bukanlah hal mudah untuk di lakukan ibarat seseorang menebang sebuah pohon, sekali menebang maka runtuhlah semua batangnya.

Dalam bukunya “Manifesto Politik HmI” Ahmad Nasir Siregar mengatakan HMI bermetamorfosa dalam peran-peran kebangsaannya, namun apapun posisi dan perannya, kader-kader HMI tetap saja menjadi entitas keluarga besar HMI yang menjadi pilar dalam mempertahankan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman. Disinilah letak kehebatan HMI yang hadir dua tahun setelah Indonesia merdeka dan hingga saat ini eksistensinya masi tetap terjaga.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sudah merupakan sebuah prasyarat membuat kesimpulan dalam penulisan makalah ilmiah. Dari latar belakang hingga perumusan masalah telah dibahasakan berbagai indikasi hingga menjadi melemahnya integritas kader Himpunan Mahasiswa Islam. Mulai dari terlena serta melupakan sejarah panjang yang telah mengarungi setiap langkah HmI dan bangsa ini, hingga minimnya ruang-ruang dialegtis yang berdampak pada kurangnya aktualisasi dari kader-kader HMI dalam menganalisis serta merumuskan sebuah solusi tepat demi mempercepat terwujudnya masyarakat adil, makmur yang diridhoi Allah SWT. Serta kurangnya sendiri tanggung jawab dari para kader insan cita yang terlalu menyepelekan masalah-masalah sederhana serta terkadang arus politik yangt sangat deras mengalir didalam kubu HmI sendiri yang terkadang menguntungkan beberapa kelompok atau individu saja. Mungkin itu semua yang yang mesti harus dirubah dimulai dari sekarang hingga kita bisa menjawab petanyaan serta tantangan zaman yang makin hari makin berkembang.

4.2 Saran

Hadirnya Teknologi Cyberspace di era moderenisasi ini seiring dengan pergolakan gerakan baik gerakan mahasiswa maupun gerakan sosial, baiknya para aktivis gerakan lebih jelih melihat metodologi yang konteks dengan masalah-masalah yang ada di rana-rana sosial.

DAFTAR PUSTAKA

· Danesi, Marcel, 2010, Pengantar Semiotika Media , Jalasutra, Jogjakarta.

· Firmansyah, 2002, Microsoft Internet Explorer Versi 6, Prestasi Pustaka, Jakarta.

· Hendroyono, Toni dan Herwibowo, Yudhi, 2003,2004, Segala Yang Gratis Dari Internet, Andi , Jogjakarta.

· Lim, Francis, 2008, Filsafat Teknologi Don Lhede Tentang Dunia Manusia Dan Alat, Anggota IKAPI, Indonesia.

· Nurwono, Ir. Yuniarto, MBA, 1994, Manajemen Informasi Pendekatan Global, PT Alex Media Komputindo, Jakarta.

· Suryakelana, 1997, Mengenal Cyberspace, Mizan, Bandung, (online), (file:///D:/LEARNING/Pra%20Intermediate/Bahan%20Makalah/Apa%20itu%20Cyberspace.htm , diakses 2 Desember 2011).

· Hidayatullah, Syarief, 2011, Paradigma Baru Menggalang Aksi Sosial, (online), (file:///D:/LEARNING/Pra%20Intermediate/Bahan%20Makalah/Yawan%20Artikel/dunia-maya-paradigma-baru-menggalang.html, diakses 2 Desember2011).