Mendengar
kata Syi'ah, tentu ingatan masyarakat, terutama muslim Indonesia melayang ke
negeri di wilayah Asia barat, yakni Iran. Di sanalah Syiah berkembang pesat dan
hingga kini masih menjadi paham dan aliran yang dipeluk mayoritas umat Islam di
negeri yang terkenal dengan Negeri Para Mullah (para imam) itu.
Namun
kini, aliran Syiah pelan namun pasti juga telah merembes keluar dari jazirah
Persia dan masuk pula ke Indonesia. Dengungnya memang tidak begitu keras,
tetapi komunitas ini telah menunjukkan eksistensinya. Sejarah pernah mencatat,
pada 21 September 1997, diselenggarakan sebuah seminar nasional di Jakarta,
yang dihadiri pejabat pemerintah, ABRI, MUI, pimpinan ormas Islam, dan
masyarakat umum.
Melalui
seminar itu, keluarlah sebuah keputusan penting menyangkut Syi'ah, antara lain;
Syi'ah malakukan penyimpangan dan perusakan Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah
(paham Sunni, paham yang dianut mayoritas Islam Indonesia, -red), menurut
Syi'ah, Al-Qur'an tidak sempurna, Syi'ah terbukti pelaku kejahatan, dituduh
penghianat dan teroris. Puncaknya, seminar itu juga mengusulkan agar pemerintah
RI cq. Kejaksaan Agung melarang Syi'ah, termasuk penyebaran buku-buku Syi'ah di
Indonesia.
Namun
dalam perkembangannya, justru kecenderungan untuk mempelajari Syi'ah makin
meningkat. Buku-buku tentang Syi'ah pun dengan gampang bisa diperoleh di
toko-toko buku. Bahkan lembaga atau komunitas Syi'ah juga berkembang pesat
tanpa lagi takut dengan pelbagai gunjingan miring tentangnya. Sekadar catatan,
Gatra edisi Idul Fitri, Desember tahun lalu dengan tangkas membidik geliat
komunitas ini, terutama di Jakarta dan daerah sekitarnya.
Sebab
itulah, selain untuk memahami adanya kepelbagaian aliran agama di Indonesia,
Jumat sore 19 Desember akhir tahun lalu digelarlah diskusi seputar Islam Syi'ah
di Sekretariat ICRP, kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Hadir sebagai
narasumber Abdurrahman Abdullah dan Umar Shahab yang keduanya mengaku sebagai
penganut Syi'ah.
Apa
itu Syi'ah?
Menurut
Abdurrahman Abdullah, Syi'ah secara etimologis merupakan kesepakatan atau
kesamaan pikiran dan atau perbuatan dua orang atau lebih. Mengutip istilah
Thabathaba'i, Abdurrahman mengatakan, "Ketika dua orang sama pikiran
dengan yang lain, maka itu disebut Syi'ah". Sedang secara termonologis,
menurutnya, mereka yang menyakini bahwa Khilafah, Imamah atau kepemimpinan
langsung pasca Rasul adalah hak Ali bin Abi Thalib dan putra-putranya atas
dasar Nash (ketentuan) yang ada dalam syari'at (Qur'an - Hadits) baik implisit
maupun eksplisit. "Ini merupakan pernyataan Syekh Mufid, tokoh Syi'ah abad
3 dalam bukunya Awa Ila Maqala" sergahnya.
Abdurrahman
yang sehari-harinya menjabat sebagai Direktur Sekolah Tinggi Agama Islam
"Madina Ilmu" Bogor ini juga mengatakan, kemunculan Syi'ah sama
dengan munculnya Islam itu sendiri, sehingga antara keduanya tidak bisa
dipisahkan. Jika dalam perkembangannya muncul dan berbeda dengan berbagai
aliran dalam Islam, itu merupakan sebuah keniscayaan. "Bahkan yang
meletakkan fondasi pertama untuk berbeda itu Allah sendiri", tukasnya
sambil menyitir surat Al-Ma'idah(5):48 dan Hud (11):118-119.
Akidah
Syi'ah & Prinsip Dalam Syari'at Sebagaimana Sunni, Syi'ah juga memiliki
prinsip dasar dalam teologinya. Dalam hal ini, Syi'ah mempunyai lima dasar,
yakni Tauhid (sifat peng-Esaan Allah), Keadilan (Allah Maha Adil, dan manusia
bebas berbuat apa saja, yang nanti akan diminta pertanggungjawaban),
An-Nubuwwah (Kenabian), Imamah (dua belas Imam), Eskatologi -Ma'ad- (Hari
Kiamat).
Sementara
dalam landasan pengambilan hukum, Syi'ah memiliki dua argumentasi; Ijtihadiy
(berdasarkan keyakinan personal), dan Yuresprudensial (hukum fiqih). Adapun
sebagai sumber hukumnya Syi'ah berlandaskan pada Al-Qur'an, Sunnah atau hadits,
termasuk hadist-nya para Imam, Ijma' (kesepakatan), dan Aqal (argumentasi
demontratif).
Identitas
Syi'ah & Kawin Muth'ah
Dalam
kesempatan yang sama, Umar Shahab menyatakan, bahwa yang membedakan Syi'ah
dengan yang lainnya adalah hanya di sekitar istilah Al wila li ahli bait
(loyalitas kepada keluarga Nabi). Menurutnya loyalitas ini sudah ada sejak awal
kenabian Muhammad. Loyalitas ini terjadi karena mereka melihat, bahwa Nabi dan
keluarganya banyak menerima tindakan yang merugikan. "Misalnya tragedi
pembantaian keluarga Nabi di Karbala Irak tahun 61 hijriah, di mana Husain dan
anak-anaknya terbunuh, bahkan sebagian besar keluarga Nabi dibantai oleh
penguasa Bani Umayyah saat itu," Umar mencontohkan.
Sementara
menyinggung soal kawin Muth'ah, Abdurrahman Abdullah berpendapat, "Secara
sosial Muth'ah (kawin atas dasar perjanjian atau kontrak, red) bisa menjadi
solusi dalam kehidupan (hubungan-red) laki-laki dan perempuan, bukan dijadikan
upaya melegalkan prostitusi," tegasnya. [icrp-online/syiahindonesia.com].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar